Wednesday, November 24, 2010

KERJASAMA ANTAR UMAT BERAGAMA DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF HERMENEUTIKA FARID ESACK

Makalah

KERJASAMA ANTAR UMAT BERAGAMA DALAM AL-QUR’AN:
PERSPEKTIF HERMENEUTIKA FARID ESACK

A Khudori Soleh
Dosen Fakultas Psikologi UIN Malang

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Benar bahwa secara normatif, tidak ada satupun agama yang menganjurkan pemeluknya untuk melakukan tindak kekerasan (violence). Akan tetapi, secara faktual, tidak jarang dijumpai tindak kekerasan yang dilakukan masyarakat agamis. Bahkan, ada kecenderungan bahwa kekerasan ini justru dilakukan oleh mereka yang mempunyai basic agama yang kuat dan melakukannya dengan atas nama agama. Apa yang terjadi di Sulawesi Tengah, Maluku, dan Aceh, juga di Afganistan, Pakistan, India, Palestina dan Irlandia adalah bukti-bukti yang menyatakan hal itu.
Kenyataan–kenyataan tersebut akhirnya mendorong para pemikir untuk menemukan konsep alternatif dan menyajikan agama yang sejuk serta damai. Muncullah gagasan-gagasan untuk melakukan dialog dan kerja sama di antara umat beragama, seperti di Bali atau di beberapa negara lain akhir-akhir ini. Namun, semangat dan intensitas dialog dan saling menyapa tersebut agaknya masih banyak yang dilakukan atas dasar kepentingan sosiologis, politis atau sejenisnya. Belum dibarengi dengan perubahan dogma dan tata pikir keagamaan yang lebih mendasar, sehingga dialog, kerja sama dan kerukunan yang dihasilkan hanya merupakan kerukunan semu, bukan kerukunan yang tulus, sehingga sedikit masalah telah mampu merusak kesepakatan dan kerja sama yang di bangun.
Farid Esack, tokoh pemikir Islam asal Afrika Selatan yang tengah banyak mendapat perhatian internasional lewat karya dan keterlibatannya dalam gerakan praksis, mendobrak klaim kebenaran eksklusif agama untuk kemudian menggantinya dengan gagasan-gagasan pluralis dan membebaskan. Berdasarkan teori hermeneutikanya, Esack menjelaskan dan memberikan landasan teologis bagi terlaksananya kerja sama antar umat beragama, khususnya muslim-non muslim. Lebih dari itu, Esack bahkan mengorientasikan tafsirannya atas teks suci (al-Qur`an) agar dapat menggerakan massa muslim dan non-muslim untuk secara bersama-sama melakukan perubahan-perubahan.



B. Pokok Masalah
Berdasarkan uraian di atas, persoalan pokok yang akan diangkat dan dikaji dalam penelitian ini:
1. Bagaimana metode hermeneutika yang dikembangkan Farid Esack?
2. Bagaimana konsep kerja sama antar umat beragama yang ditawarkan Esack?
3. Mengapa Farid Esack merasa perlu menformulasikan kembali konsep pluralisme dan kerja sama antar umat beragama dalam al-Qur`an?

C. Tujuan dan Signifikansi
Tujuan utama penelitian ini adalah:
1. Melakukan ekplorasi atas metode hermeneutika yang dikembangkan Esack.
2. Melakukan eksplorasi atas pemikiran Esack tentang kerja sama antar umat beragama yang didasarkan atas teks-teks al-Qur’an.
3. Melihat latar belakang pemikiran Esack berkaitan dengan konsepnya tentang kerja sama antar umat beragama.
Berdasarkan persoalan dan tujuan di atas, penelitian ini diharapkan mempunyai signifikansi dan manfaat secara teoritis maupun praktis:
1. Sebagai masukan bagi departemen agama, juga pihak-pihak yang konsen terhadap persoalan sosial keagamaan, dalam upaya membangun hubungan antar umat beragama secara damai, sejuk dan pernuh toleransi.
2. Sebagai masukan teologis atas pelaksanaan kerja sama antar umat beragama di tanah air, sehingga dapat tercipta hubungan antar umat beragama yang penuh kesadaran dan tidak mudah retak.
3. Memperkaya khazanah kajian keagamaan, terutama masalah hubungan antar agama. Studi atas problem yang dihadapi Esack dan alternatif yang ditawarkan dapat dijadikan model bagi wilayah lain yang memiliki konteks dan problem sama seperti di tanah air.
4. Memperkaya khazanah kajian metodologis, khususnya tentang hermenutika atau analisa teks. Metode ini sangat penting dalam pengembangan keilmuan di UIN yang banyak berkaitan dengan teks-teks suci dan teks-teks klasik.

D. Kerangka Teori
Penelitian ini didasarkan atas dua teori pokok: hermeneutika dan sikap keberagamaan manusia. Pertama, hermeneutika. Dalam hermeneutika dikenal dua macam model penafsiran, yaitu objektif dan subjektif. Hermeneutika objektif adalah model penafsiran yang banyak dikembangkan tokoh klasik, khususnya Schleiermacher (1768-1834) dan Wilhelm Dilthey (1833-1911). Menurut model ini, penafsiran berarti memahami teks sebagaimana yang dipahami pengarangnya, sebab apa yang disebut teks adalah ungkapan jiwa pengarangnya. Seâdemikian, sehingga apa yang disebut makna atau tafsiran atasnya tidak didasarkan atas kesimpulan kita melainkan diturunkan dan bersifat instruktif.
Hermeneutika subjektif adalah model penafsiran yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh modern khususnya Gadamer (1900-2002) dan Derida (l. 1930). Menurut model kedua ini, hermeneutika bukan usaha menemukan makna objektif yang dimaksud si penulis seperti yang diasumsikan model hermeneutika objektif melainkan memahami apa yang tertera dalam teks itu sendiri. Stressing mereka adalah isi teks itu sendiri secara mandiri bukan pada ide awal si penulis. Dalam pandangan hermeneutika subjektif, teks bersifat terbuka dan dapat diinterpretasikan oleh siapa pun, sebab begitu sebuah teks dipublikasikan dan dilepas, ia telah menjadi berdiri sendiri dan tidak lagi berkaitan dengan si penulis.
Kedua, pola hubungan antar umat beragama. Paling tidak ada tiga tipe sikap yang ditunjukkan umat: ekskusif, inklusif, dan pluralis. Sikap eksklusif adalah pandangan yang menolak adanya kerja sama antar umat beragama, karena masing-masing mengklaim dirinya sebagai yang paling benar. Sikap inklusif adalah pandangan yang sudah mampu dan mau melakukan hubungan dan kerja sama dengan pihak lain, tetapi hanya pada dan atas dasar kepentingan social, karena apa yang benar hanya pada dirinya sendiri. Sikap pluralis adalah paradigma pemikiran yang berpendapat bahwa setiap agama mempunyai kebenaran dan jalan keselamatan sendiri-sendiri sehingga tidak ada alasan untuk menolak kerja sama di antara mereka. Bukan sekedar alasan sosiologis melainkan teologis.

E. Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah historis dan hermeneutik. Historis dipakai untuk memetakan sisi-sisi sejarah yang mengitari konsep dan pikiran-pikiran. Sisi-sisi tersebut dianalisa untuk menentukan hubungan berbagai komponen di dalamnya, kemudian diuraikan berdasakan klasifikasinya. Untuk kepentingan ini digunakan metode deskriptif-analitis, dengan prosedur: 1) pengumpulan data, 2) klasifikasi data, 3) analisa data, dan 4) pengambilan kesimpulan. Adapun analisa data dilakukan dengan menggunakan prosedur deskripsi, interpretasi, dan refleksi. Segala sesuatu yang berkaitan dengan Esack dan tema penelitian ini dijelaskan secara deskriptif, sementara interpretasi digunakan untuk memahami konsep yang ditawarkan Esack beserta implikasinya, dan selanjutnya refleksi kritis disampaikan sebagai evaluasi terhadap konsep yang ditawarkan Esack.
Pendekatan hermeneutika digunakan untuk mengungkap pikiran Esack. Penelitian ini mengungkap gagasan penafsiran al-Qur`an (hermeneutika) Farid Esack yang berposisi sebagai teks (as text). Sedangkan penyelidikan terhadap pengarang (author) dianotasikan kepada sosok pribadi Farid Esack beserta konteks yang mengitarinya, yaitu biografi dan faktor eksternal konteks Afrika Selatan yang sarat dengan gejolak religio-sosial-politik. Selain itu, penelitian ini juga berupaya mengungkapkan horizon penulis sebagai pembaca (reader) dalam rangka melakukan pembacaan kritis terhadap hermeneutika Farid Esack tentang konsep solidaritas antaragama yang diupayakan legitimasinya dari al-Qur’an.
Sumber data didasarkan atas informasi yang dimuat dalam literatur-literatur kepustakaan. Data primer dari penelitian ini adalah semua karya tulis Farid Esack, baik buku, jurnal maupun webb-site, yang memuat pandangannya tentang al-Qur’an dan solidaritas antar-agama, sedang data sekundernya adalah segala informasi dari berbagai karya yang ditulis orang lain tentang Farid Esack dan yang berkaitan dengan tema penelitian ini, baik berupa buku maupun artikel-artikel yang tersebar di berbagai majalah, jurnal, dan web-site.


II. SETTING OBJEK PENELITIAN
A. Riwayat Hidup
Maulana Farid Esack lahir tahun 1959 di Cape Town, daerah pinggiran kota Wynberg, Afrika Selatan, dari keluarga miskin. Pendidikan dasar dan menengahnya di tempuh di Bonteheuvel. Pada usia 9 tahun, ketika teman sebayanya mulai memasuki kehidupan gangster dan minuman keras, Esack justru bergabung dengan Jamaah Tabligh. Usia 10 tahun dia sudah menjadi guru di sebuah madrasah lokal.
Tahun 1974, Esack ditahan dinas kepolisian Afrika Selatan karena dianggap merongrong pemerintahan rezim apartheid. Namun, tidak lama kemudian ia dibebaskan dan pergi ke Pakistan untuk melanjutkan studinya. Di Pakistan, Esack melanjutkan studi di Seminari (Islamic College) atas dana beasiswa. Dia menghabiskan waktunya selama sembilan tahun (1974-1982) sampai mendapat gelar kesarjanaan di bidang teologi Islam dan sosiologi pada Jamî’ah al-Ulûm al-Islâmiyyah, Karachi. Setelah itu, ia pulang ke Afrika Selatan karena tidak tahan melihat negaranya sedang berjuang melawan apartheid.
Selama di tanah airnya ini, Esack bersama beberapa temannya membentuk organisasi politik keagamaan, The Call of Islam dan ia menjadi koordinator nasionalnya. Melalui organisasi ini, Esack berkeinginan dan berjuang keras untuk menemukan formulasi Islam khas Afrika Selatan, berdasarkan pengalaman penindasan dan upaya pembebasan yang disebutnya sebagai a search for an outside model of Islam.
Tahun 1990, Esack kembali ke Pakistan, melanjutkan studi di Jami’ah Abi Bakr, Karachi. Di sini dia menekuni Studi Qur’an (Qur’anic Studies). Tahun 1994, Esack menempuh program Doktor di Pusat Studi Islam dan Hubungan Kristen-Muslim (Centre for the Study of Islam and Christian-Muslim Relations [CSIC]) University of Birmingham (UK), Inggris. Puncaknya, tahun 1996, Esack berhasil meraih gelar Doktor di bidang Qur’anic Studies dengan desertasi berjudul Qur’an, Liberation and Pluralism: an Islamic Perspective of Inter-religious Solidarity against Oppression.

B. Karya-karya Esack
Karya-karya Easck amat banyak, baik berupa artikel maupun buku. Artikelnya yang dipublikasikan dalam jurnal atau yang dihimpun dalam sebuah buku:
1. “Muslim in South Africa: The Quest for Justice”, dalam Journal of Islam and Christian-Muslim Relation, Vol.2 No.2 (1987)
2. “Contemporary Religious Thought in South Africa and Emergence of Qur’anic Hermeneutical Nation”, dalam Journal of Islam and Christian-Muslim Relation, Vol.5 No.2 (1991)
3. “Qur’anic Hermeneutic: Problem and Prospect”, dalam The Muslim World, Vol.83 No.2 (1993)
4. “Three Islamic Strands in the South African Struggle for Justice”, dalam Third World Quarterly, Vol.10 No.12 (1998)
5. “The Exodus Paradigm in The Light of Re-interpretative Islamic Thought in South Africa”, dalam Islamochristiana, Vol. 17 (1999)
6. “Muslim Engaging Apartheid”, dalam James Mutawirma (ed,), The Role of Religion in the Dismantling of Apartheid, (Geneva: Council of Churches & UNESCO, 1992)
7. “From The Darkness of Oppression into the Wildness of Uncertainly”, dalam David Dorward, South Africa-The Way Forward ? (Victoria: African Research Institute, 1990);
8. “Spektrum Teologi Progressif Afrika Selatan”, dalam Tore Lindholm dan Karl Vogt (ed), Dekonstruksi Syari’ah (II) : Kritik Konsep dan Penjeajahan Lain, terj. Farid Wajdi (Yogyakarta: LkiS, 1996).

Pemikiran-pemikiran Esack yang tertuang dalam bentuk buku:
1. Qur’an, Liberation, and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression”, Oneworld: England, 1997. Edisi Indonesia: “Membebaskan yang Tertindas; Al-Qur’an, Liberalisme, dan Pluralisme”, terj. Watung A. Budiman, Bandung: Mizan, 2000.
2. On Being A Muslim: Finding a Religious Path in The World today”, Oneworld: England, 2000.
3. The Qur’an: a Short Introduction”, Oneworld: England, 1997.

Adapun artikel Esack yang ada dalam home page-nya adalah:
1. To Whom Shall We Give Our Water Holes? (Islam and International Relations, 2002.
2. How Liberated Is Christian Liberation Theology.
3. The Unfinished Business of Our Liberation Struggle.
4. What Do Men Owe to Women? Islam & Gender Justice: Beyond Simplistic Apologia.
5. Muslim Engaging The Other and Humanum.
6. Religio Cultural Diversity: For what and With Whom? Muslim Reflections from a Post Apartheid South Africa in the Throes of Globalization.
7. Glasnost and the Mass Democratic Movement, 1990.
8. Is Being a Muslim Much Travail in Triviality?
9. Why Celebrate Women’s Day?
10. The Liberation Struggle in South Africa: The Bases of Our Hopes, 1988.
11. Mosques: The Battle for Control-Some Reflections, 1989.
12. Snakes and Ladders: Personal Reflections on the Other CST.
13. Gender and Firearms Control.
14. To Whom Shall We Give Our Water Holes? Social, Religious, and Political Dimensions of Prejudice: Reflections of a Muslim.
15. Does a Man not Bleed When He is Pricked?
16. Bombing Of Planet Hollywood.


C. Keilmuan
Esack memegang peranan penting di berbagai lembaga dan organisasi, seperti The Organisation of People Aginst Sexism dan The Capé Against Racism and the World Conference on Religion and Peace. Dia juga rutin menjadi kolumnis politik di Cape Time (mingguan), Beeld and Burger (dua mingguan), koran harian South African dan kolumnis masalah sosial-keagamaan untuk al-Qalam, sebuah tabloid bulanan Muslim Afrika Selatan. Ia juga menulis di Islamica, Jurnal tiga bulanan umat Islam di Inggris serta jurnal Assalamu’alaikum, sebuah jurnal Muslim Amerika yang terbit tiga bulan sekali.
Dalam bidang akademik, Esack menjabat sebagai Dosen Senior pada Department of Religius Studies di University of Western Capé sekaligus Dewan Riset project on Religion Culture and Identity. Disamping itu, ia juga pernah menjabat sebagai Komisaris untuk Keadilan Jender, dan sekarang diangkat menjadi Guru Besar Tamu dalam Studi Keagamaan (Religious Study) di Universitas Hamburg, Jerman. Esack juga memimpin banyak LSM dan perkumpulan, semisal Community Depelovment Resource Association, The (Aids) Treatment Action Campaign, Jubilee 2000 dan Advisory Board of SAFM.
Saat ini, waktunya banyak dihabiskan untuk mengajar berbagai mata kuliah (wacana) yang bertalian dengan masalah keislaman dan Muslim di Afrika Selatan, teologi Islam, politik, environmentalisme dan keadilan jender di sejumlah Universitas di berbagai penjuru dunia, antara lain, Amsterdam, Cambridge, Oxford, Harvard, Temple, Cairo, Moscow, Karachi, Birmingham, Makerere (Kampala) Cape Town dan Jakarta.


III. TEMUAN PENELITIAN
A. Narasi Data
Pertama, berkaitan dengan masalah hermenutika. Metode hermenutika Esack, seperti diakuinya sendiri diilhami dari konsep teologi pembebasan (liberation theologi) Gueterriez dan Segundo, pola pemikiran regresif-progresif Arkoun dan double movement Rahman. Esack meramu dari ketiga pemikiran tersebut kemudian menambahkan dengan kunci-kunci hermeneutika yang sengaja dibuatnya secara khusus sesuai dengan konteks masyarakat Afrika Selatan yang diwarnai penindasan, ketidakadilan dan eksploitasi. Kunci-kunci yang dimaksud adalah, taqwa (integritas dan kesadaran akan kehadiran Tuhan), tauhid (keesaan Tuhan), al-nas (manusia), al-mustadh’afûn fi al-ardh (yang tertindas di bumi), adl and qisth (keadilan dan keseimbangan), serta jihad (perjuangan dan praksis). Kunci-kunci tersebut dimaksudkan untuk memperlihatkan bagaimana hermeneutika pembebasan al-Qur’an bekerja, dengan pergeseran yang senantiasa berlangsung antara teks dan konteks berikut dampaknya terhadap satu sama lainnya.
Selain itu, kunci-kunci di atas juga digunakan untuk tujuan tertentu dan tersruktur; dua kunci pertama taqwa dan tauhid dimaksudkan sebagai pembangunan ktiteria moral dan doktrinal yang akan menjadi lensa teologis dalam membaca al-Qur’an terutama teks-teks tentang pluralisme dan solidaritas antariman. Dua kunci berikutnya al-nas dan al-mustad’afuna fi al-ardh sebagai pengukuhan terhadap konteks atau lokasi aktifitas penafsiran, sedang dua kunci terakhir adl–qisth dan jihad merupakan refleksi dari metode dan etos yang menghasilkan dan membentuk pemahaman kontekstual tentang firman Tuhan dalam masyarakat yang diwarnai ketidakadilan.
Kedua, berdasarkan metode hermeneutika tersebut, Esack mencapai kesimpulan bahwa kerja sama dengan umat agama lain adalah sesuatu yang tidak dilarang, jika tidak malah dianjurkan. Kesimpulan ini didasarkan atas penafsirannya terhadap (1) ayat-ayat pluralitas, (2) ayat-ayat afinitas, dan (3) kisah eksodus Musa serta Bani Israil dari Mesir.
1. Pluralisme Agama.
Menurut Esack, al-Qur'an sebenarnya secara tegas dan jelas menunjukkan adanya pluralitas dan keanekaragaman agama. “Sungguh, orang-orang yang beriman, Yahudi, Sabi’in, Nasrani, dan siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah, Hari Akhir, dan berbuat kebajikan, mereka akan mendapatkan balasan dari sisi Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka akan bersedih hati”. (QS. al-Baqarah, 62).
Ayat tersebut, menurut Esack, secara tegas menyatakan adanya keselamatan yang dijanjikan Tuhan bagi setiap orang yang beriman kepada-Nya dan Hari akhir, yang diiringi dengan berbuat kebajikan (amal salih) tanpa memandang afiliasi agama formal mereka. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Rasyid Ridla dan Thabathaba’i. Menurut Ridla, semua yang beriman kepada Allah dan beramal salih tanpa memandang afiliasi keagamaan formal mereka akan selamat, karena Allah tidak mengutamakan satu kelompok dengan mendlalimi kelompok yang lain. Thabathaba’i dengan bahasa yang berbeda menyatakan ‘tidak ada nama dan tidak ada sifat yang bisa memberi kebaikan jika tidak didukung oleh iman dan amal shalih. Aturan ini berlaku untuk seluruh umat manusia’. Bahkan dalam pandangan Ridla dan Thabathaba’I, teks-teks tersebut juga sebagai respon atas sikap eksklusivisme yang terkungkung dalam sektarianisme dan khauvinisme keberagamaan yang sempit. Rasyid Ridla menegaskan: “keselamatan tidak dapat ditemukan dalam sektarianisme keagamaan, tetapi dalam keyakinan yang benar dan kebajikan”.
2. Prinsip Afinitas (wilâyah)
Masalah afinitas (wilâyah) telah menjadi kajian serius sejak masa klasik. Sebagian besar ulama klasik dan umat Islam Afrika Selatan menolak kerjasama dengan umat agama lain berdasarkan makna teks al-Qur’an surat al-Maidah, 51.
Menurut Esack, benar bahwa ayat ini secara tekstual tidak mengizinkan afinitas (wilâyah) dengan kaum agama lain, dalam hal ini Yahudi dan Nasrani. Akan tetapi, kita tidak bisa berhenti di sini melainkan harus melihat lebih jauh ayat-ayat yang terkait dengan hal ini secara keseluruhan dan konteks turunnya ayat. Ditempat lain, larangan ini juga ditujukan pada orang-orang munafiq (QS. al-Nisa, 89), orang yang mengejek din-mu (QS. al-Maidah, 57), orang yang memerangi kamu karena din-mu dan mengusir kamu dari negerimu (QS. al-Mumtahanah, 13). Artinya, larangan-larangan tersebut adalah karena adanya sikap-sikap atau tindakan tertentu yang merugikan umat Islam, sehingga jika sikap-sikap tersebut tidak ditemukan berarti kontekstualisasinya adalah boleh melakukan afinitas dengan mereka.
Selain itu, adalah fakta bahwa dalam sejarah Islam terdapat kisah kaum muslim yang mencari suaka dan perlindungan dari penganiayaan Quraisy pada umat Nasrani di Abysina pada tahun kelima kenabian Muhammad SAW. Di sana mereka terlindungi dari bahaya kemurtadan dan penganiayaan. Juga, sejarah kaum muslim awal di bawah kepemimpinan nabi Muhammad sering membuat perjanjian politik dan pertahanan bersama kaum lain, terutama pada era awal kehidupan di Madinah.
3. Paradigma Eksodus
Selain didasarkan atas pemahamannya tentang prinsip afinitas, juga didasarkan atas kisah keluarnya Bani Israel dari Mesir (eksodus) seperti yang tercatat dalam al-Qur’an. Signifikansi kisah tersebut adalah komitmen Tuhan pada kebebasan politik bagi manusia, terlepas dari soal keimanan mereka. Dalam al-Qur’an sendiri digambarkan bahwa Bani Israel yang dibela Musa bukanlah kaum yang beriman melainkan justru orang yang keras kepala dan kufur. Yang beriman di kalangan mereka hanya kelompok dzurriyah yang oleh para ahli tafsir klasik diartikan dengan “sebagian kecil”, “anak-anak mereka” atau “beberapa pemuda”.
Lebih dari, mereka bahkan malah membuat patung sesembahan (QS. al-Baqarah, 51; Thaha, 85-97) dan ketika berbicara dengan Musa, mereka menyebut Allah dengan “Tuhanmu” (QS. al-Baqarah, 61). Ketika diminta berperang untuk kemerdekaan mereka sendiri, mereka mengatakan, “Pergi dan berperanglah bersama Tuhanmu, dan kami akan duduk di sini” (QS. al-Maidah, 24). Mereka bahkan mengejek Musa, “Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami bertatap muka dengan Allah” (QS. al-Baqarah, 55). Meski terus menyangkap dan tidak mau beriman, mereka tetap diajak “masuk ke tanah itu dan makan makanan yang banyak” (QS. al-Baqarah, 58; al-A`raf, 161). Tegasnya, tidak satupun baik kemerdekaan maupun karunia yang telah diberikan kepada mereka, menjadikan mereka beriman kepada Allah.
Meski demikian, mereka tetap dibela Tuhan dengan mengutus Musa. Acuan mustadh’afun (tertindas) yang dialami Bani Israil akibat kesewenang-wenangan Fir’aun mencerminkan posisi utama yang diberikan Tuhan bagi kaum tertindas. Hal tersebut juga menandakan bahwa janji pembebasan tetap ada walaupun dalam ketiadaan iman kepada Tuhan, dengan argumen bahwa ketertindasan mereka harus diselamatkan dulu sebelum menekankan keimanan kepada mereka.
Berdasarkan semua itu, Esack menyatakan bahwa hubungan dan kerja sama dengan pihak non muslim adalah tidak terlarang. Akan tetapi, kerja sama tersebut tidak bisa dilakukan secara sembrono. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. (a) kerja sama tersebut tidak boleh sampai meninggalkan umat Islam sendiri, (b) kerjasama tersebut harus memberikan perlindungan jangka panjang terhadap Islam. Selain itu, pihak yang diajak kerja sama harus memenuhi persyaratan: (a) telah terikat perjanjian damai atau tidak menunjukkan permusuhan terhadap Islam, (b) bukan pihak-pihak yang membuat agama menjadi bahan ejekan, (c) bukan orang yang mengingkari kebenaran, (d) bukan pihak atau yang membantu pihak-pihak yang mengusir umat Islam.
Ketiga, alasan formulasi konsep kerja sama Esack didasarkan atas kenyataan (1) secara sosio-politis, Afrika Selatan berada dalam kekasaan rezim Apartheid yang tiranik dan hegemonik, dan persoalan ini harus segera di akhiri; (2) secara sosio-keagamaan, ada relasi yang kuat antara teologi konservatif yang dianut sebagian besar kaum akomodasionis dengan ideologi status quo yang dijalankan rezim apharteid. Padahal, secara teologis, tak ada satupun pernyataan al-Qur’an yang membenarkan kekejaman perilaku politik apartheid; (3) kuatnya ego superioritas khauvinistik kelompok keagamaan yang dianut fundamental Islam. Keyakinan bahwa hanya Islam sebagai satu-satunya jalan untuk mendapatkan keselamatan (eksklusif) telah membutakan mata akan kenyataan bahwa agama yang ada tidak hanya Islam, dan bahwa penganut agama lain juga berjuang menegakkan kebenaran serta menentang kezaliman.

B. Kajian atas Konsep
Pertama, tentang hermenutika. Bangunan teori hermeneutika Esack tidak lahir dengan sendirinya tetapi di dasarkan dan diramu dari berbagai pemikiran, khususnya Gueterrez, Arkoun dan Rahman. Esack mengambil konsep pembebasan dari Gueterrez dan double movement Rahman untuk menjelaskan soal praksis dan semangat teks, dan mengambil konsep regresif-progresif Arkoun untuk memberikan landasan kontekstualisasi teks pada masa kekinian. Namun, Esack berbeda dari ketiganya ketika dia memberikan kunci-kunci penafsiran yang terdiri atas 6 hal. Selain itu, Esack juga berbeda dengan penempatan posisi penafsiran. Dalam pola hermeneutika biasa, eksistensi teks dalam konteks (lokus penafsiran) ditentukan oleh “kuasi transformatif” yang mampu menggeser paradigma atau model cara baca terhadap teks. Akan tetapi, Esack justru menempatkan posisi sentral penafsiran pada teks partikular (prior texts) dan responsinya terhadap konteks tanggapan audiens, serta menentukan arti penting relevansi teks dalam konteks kontemporer. Sedemikian, sehingga ditemukan “makna baru” yang dibutuhkan. Yakni, makna baru yang sesuai dengan kebutuhan dan konteks partikular (sosial-politik-keagamaan) Afrika Selatan.
Dalam bahasa yang lebih mudah, teori hermenutika Esack pertama kali didasarkan atas pembacaannya terhadap realitas praksis. Ketika realitas tersebut harus dirubah, karena terjadi ketimpangan, maka disana dicarikan justifikasinya dari ayat-ayat, karena semangat teks sesunguhnya adalah pembebasan dari ketimpangan. Ayat-ayat dimaknai secara baru untuk mendukung gagasan dan upayanya dalam memberikan perubahan social masyarakat sesuai dengan élan vital alQur'an sendiri. Inilah rumusan khas hermeneutika Esack yang tidak ditemukan dalam hermeneutika lainnya.
Kedua, konsep kerja sama Esack benar-benar di dasarkan atas pembacaannya atas realitas praksis Afrika Selatan dan metode hermenutika yang dikembangkannya. Karena itu, hasilnya memang sering berbeda atau bahkan berseberangan dengan penafsiran-penafsiran klasik. Akan tetapi, Esack tidak berarti sama sekali meninggalkan tafsir klasik. Ia tetap dan justru menggunakannya dalam upaya mendukung pemikiran dan proses hermeneutikanya.
Meski demikian, Esack bukan berarti pemikir yang liar dan liberal. Sebaliknya, ketika ia mematok syarat-syarat tertentu dalam pelaksanaan kerja sama antar umat beragama yang begitu ketat, Esack justru bisa jatuh pada kategori konservatif dan tradisional. Sebab, hasil akhirnya ternyata bisa tidak jauh beda dengan tafsir-tafsir klasik yang secara eksplisit melarang adanya hubungan dan kerja sama dengan pihak lain.


IV. ANALISA TEORITIS
A. Keberlakuan Teoritis
Ada dua kajian teori yang ditulis dalam pendahuluan dan ditemukan dalam pembahasan: hermeneutika dan pola kerja sama antar umat beragama. Pertama, hermeneutika. Berdasarkan pengertian yang diberikan, hermeneutika sesungguhnya tidak berbeda dengan tafsîr dalam tradisi Islam. Menurut Dzahabi, tafsir adalah seni atau ilmu untuk menangkap dan menjelaskan maksud-maksud Tuhan --dalam al-Qur`an-- sesuai dengan tingkat kemampuan manusia (bi qadr al-thâqah al-basyariyah). Dalam tradisi keilmuan Islam, tafsir ini kemudian berkembang menjadi dua aliran: tafsîr bi al-ma’tsûr dan tafsîr bi al-ra’y. Tafsîr bi al-ma’tsûr adalah interpretasi al-Qur`an yang didasarkan atas penjelasan al-Qur`an dalam sebagian ayat-ayatnya, berdasarkan atas penjelasan Rasul, para shahabat atau orang-orang yang mempunyai otoritas untuk menjelaskan maksud Tuhan, sementara tafsîr bi al-ra’y adalah interpretasi yang didasarkan atas ijtihad.
Dalam perbandingan diantara keduanya, model tafsir bi al-ma`tsûr sesuai dengan model hermeneutika objektif. Sebagaimana hermeneutika objektif yang berusaha memahami maksud pengarang dan masuk dalam tradisinya, tafsir bi al-ma`tsûr juga berusaha menangkap maksud Tuhan dalam al-Qur`an dengan cara masuk pada kondisi realitas historisnya saat turunnya ayat. Dalam pandangan tafsir bi al-ma`tsûr, yang paling mengetahui maksud Tuhan adalah Rasul, para shabat dan mereka yang sezaman. Kita tidak akan dapat menangkap maksud al-Qur`an tanpa bantuan mereka dan memahami realitas historis yang melingkupinya. Karena itu, metode tafsir bi al-ma’tsûr senantiasa mengikatkan dan menyandarkan diri pada tradisi masa Rasul, shahabat dan yang berkaitan dengan periode awal turunnya al-Qur`an.
Sementara itu, tafsir bi al-ra’y sesuai dengan model hermeneutika subjektif. Sebagaimana konsep hermeneutika subjektif, tafsir bi al-ra’y tidak memulai penafsirannya berdasarkan realitas-realitas historis atau analisa-analisa linguistik melainkan memulai dari prapemahaman si penafsir sendiri kemudian berusaha mencari legitimasinya atau kesesuaiannya dalam teks tersebut. Pernyataan ini dapat dilihat, antara lain, pada interpretasi yang dilakukan Ibn Arabi tentang ayat Dia membiarkan kedua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu (QS. al-Rahman, 19). Ibn Arabi yang sufistik memulai tafsirannya berdasarkan prinsip-prinsip ajarannya kemudian mencari dukungannya dalam teks. Karena itu, menurutnya, yang dimaksud dua lautan dalam ayat diatas adalah lautan substansi raga yang asin dan pahit dan lautan ruh yang murni, yang tawar dan segar yang keduanya saling bertemu dalam wujud manusia.
Meski demikian jauh dan meski hermeneutika subjektif (tafsir bi al-ra’y) didasarkan atas konteks kekinian, tetapi ia masih lebih banyak berkutat dalam lingkaran wacana, belum pada aksi. Gadamer sendiri menyebut hermeneutika lebih hanya merupakan permainan bahasa, karena segala yang bisa dipahami adalah bahasa (being that can be understood is language). Artinya, metode hermeneutika yang lain baru pada tahap pemahaman, tetapi bagaimana memahami teks dan realitas, belum pada tahap bagaimana merubah realitas.
Hermeneutika Esack tidak seperti itu, melainkan telah masuk pada dataran praxis. Baginya, interpretasi bukan sekedar memproduksi atau mereproduksi makna melainkan lebih dari itu adalah bagaimana makna yang dihasilkan tersebut dapat merubah kehidupan. Yang penting adalah bagaimana hasil penafsiran bisa diaplikasikan dalam kehidupan manusia, bisa memberi motivasi pada kemajuan dan kesempurnan hidup manusia. Tanpa keberhasilan tahap ketiga ini, betapapun hebatnya hasil interpretasi tidak ada maknanya. Sebab, disinilah memang tujuan akhir dari diturunkannya teks suci. Dengan mengutip pendapat Bultman, Esack mengasumsikan bahwa setiap orang mendatangi teks dengan persoalan dan harapannya sendiri, sehingga sangat tidak mungkin untuk menuntut penafsir lepas sepenuhnya dari subyektivitas dirinya dan menafsirkan suatu tanpa dipengaruhi pemahaman dan pertanyaan awal yang berada dalam benaknya. Lebih lanjut, hal itu berarti juga bahwa penafsiran dan kebenarnnya tidak ada yang tunggal melainkan justru beragam, sesuatu dengan konteks dan waktunya. Sedemikian, sehingga dapat dipahami jargon al-Qur'an shalih li kulli zaman wa makan (al-Qur'an senantiasa sesuai dengan segala ruang dan waktu).
Berdasarkan analisis di atas, metode hermeneutika Esack tampak lebih aplikatif dan menjanjikan dibanding metode hermenutika yang lain, baik objektif maupun subjektif, tafsir bi al-ma`tsur maupun bi al-ra'y. Tema sentralnya yang lebih mengutamakan praxis dapat dipakai dan dikembangkan di tanah air dalam upaya eksplorasi dan pemberian solusi atas berbagai persoalan social keagamaan yang memang sangat membutuhkan pemecahan-pemecahan mendesak dan sesuai dengan konteks keindonesiaan.
Kedua, konsep kerja sama antar umat beragama. Selama ini, hubungan dan kerja sama antar agama masih lebih didasarkan atas kepentingan social dan paradigma inklusif maupun pluralis. Paradigma inklusif adalah pandangan yang mempercayai adanya kebenaran dan keselamatan pada agama dan kelompok lain. Misalnya, dalam komunitas Katolik, paradigma ini tampak pada Konsili Vatikan II tentang hubungan antara gereja dengan agama-agama non Krestiani (Nostra Aetate). Dalam Islam, dikenal istilah non-muslim par excellance dan muslim par excellance. Dengan konsep-konsep ini, maka kerja sama dengan umat agama lain bukan sesuatu yang tabu dan terlarang, karena mereka bukanlah orang kafir. Sementara itu, paradigma pluralis adalah suatu pemikiran yang berpendapat bahwa setiap agama mempunyai kebenaran dan jalan keselamatan sendiri-sendiri, sehingga tidak ada yang berhak mengklaim hanya agamanya yang benar. Tegasnya, paradigma pluralis ini mengekspresikan adanya fenomena “satu Tuhan banyak agama” yang berarti sikap toleran terhadap adanya jalan lain kepada Tuhan. Dalam konteks ini yang diperhatikan adalah aspek esoteris, spiritual atau –menurut istilah Schuon—jantung dari agama-agama (the heart of religions) bukan aspek eksoteris atau wujud zahir antar agama.
Namun, paradigma-paradigma tersebut ternyata tidak mampu memberi bekal dan basis keagamaan yang kokoh bagi terlaksananya hubungan dan kerja sama antar umat beragama, sehingga benturan-benturan di antara mereka masih tetap mudah terjadi. Artinya, hubungan dan kerja sama yang dilakukan hanya kerja sama semu, tidak tulus. Karena itu diperlukan landasan dan basis teologi yang memang pluralis sehingga kerja sama yang dilakukan dapat dilaksanakan secara baik dan langgeng, bukan atas kepentingan social melainkan kesadaran keagamaan.
Esack telah memberikan basis yang diperlukan. Dia merombak penafsiran-penafsiran yang lebih menonjolkan ayat-ayat eksklusif untuk kemudian menggantinya dengan penafsiran yang mengedepankan sifat pluralis. Ini penting, sebab pemikiran masyarakat yang eksklusif dan keras karena memang didasarkan atas penafsiran-penafsiran yang cenderung eksklusif. Padahal, menurut ditulis Esack, al-Qur'an sesungguhnya sangat mengajarkan sikap-sikap pluralis dan justru sangat mengecam sikap-sikap eksklusif.
Selain itu, untuk memberikan basis teologis bagi kerja sama, Esack juga menunjukkan bahwa dalam bidang hukum dan social, al-Qur'an sebenarnya sangat respek terhadap agama lain, dalam hal ini Yahudi dan Nasrani. Tidak sedikit ayat al-Quran yang menyatakan hal itu. Antara lain, ahli kitab sebagai penerima wahyu diakui sebagai bagian dari komunitas, Sesungguh, inilah ummatmu, umat yang satu (QS. al-Mukminun, 52). Norma-norma dan peraturan keagamaan kaum Yahudi dan Nasrani diakui (QS. al-Maidah, 47) dan bahkan dikuatkan oleh Nabi ketika beliau diseru untuk menyelesaikan perselisihan di antara mereka (QS. al-Maidah, 42-43). Dalam bidang sosial terpenting, makanan dan perkawinan, al-Qur’an secara tegas menyatakan, makanan orang ahli kitab halal (sah) bagi kaum muslim dan makanan kaum muslim halal bagi ahli kitab (QS. al-Maidah, 5). Begitu juga, laki-laki muslim dibolehkan mengawini “wanita suci ahli kitab” (QS. al-Maidah, 5). Lebih dari itu, kesucian kehidupan religius penganut agama wahyu lainnya ditegaskan oleh fakta bahwa izin pertama yang pernah diberikan bagi perjuangan bersenjata adalah justru dimaksudkan untuk terjaminnya kesucian ini. Artinya, tujuan pertama dari perang yang dilakukan orang Islam adalah justru untuk melindungi dan memelihara kesucian tempat-tempat ibadah, apapun agamanya (QS. al-Hajj, 40).
Semua itu, menurut Esack, menunjukkan bahwa pluralisme agama tidak hanya diakui dari sisi penerimaan kaum lain sebagai komunitas sosio-religius yang sah melainkan juga dari aspek penerimaan kehidupan spiritualitas mereka dan keselamatan melalui jalan yang berbeda itu. Pemeliharaan kesucian tempat-tempat ibadah seperti diatas tidak dimaksudkan semata-mata demi menjaga integritas masyarakat multiagama seperti dalam masyarakat modern saat ini melainkan atas dasar kenyataan adanya orang lain yang juga tulus dan sama-sama melayani Tuhan.
Hanya saja, catatan untuk Esack, ia belum memberikan perubahan secara lebih luas, masih berkutat pada soal penafsiran. Padahal, sikap masyarakat juga dipengaruhi oleh metode dan ajaran teologis yang diterima. Secara metodologis, kajian teologi Islam memang cenderung eksklusif. Selama ini, kajian-kajian teologi lebih banyak menggunakan logika Aristotelian yang bersifat deduktif-bayaniyah. Metode deduksi ini yang kesimpulannya dihasilkan lewat jalan silogisme mengkonsekuensikan dua hal; keseragaman dan sikap clear and cut. Akibatnya, masyarakat menjadi susah menerima perbedaan dan cenderung melihat sesuatu secara hitam-putih, benar-salah, aku-kamu dan kemudian hanya berbicara tentang dirinya sendiri serta kebenarannya sendiri. Mereka tidak dapat melihat kemungkinan kebenaran fihak lain. Kondisi itu masih diperparah oleh dua kenyataan, (1) bahwa teologi berkaitan dengan emosi dan menuntut kesetiaan total terhadap pengikutnya. Tegasnya, teologi diwarnai oleh tingkat personal commitment yang pekat terhadap ajaran agama yang dipeluknya. (2) bahasa yang digunakan dalam teologi adalah bahasa actor (pemain) bukan pengamat atau peneliti (spectator). Sedemikian, sehingga munculnya sikap truth claim pada pemeluk agama tidak dapat dihindarkan, dan ini akan dapat menyebabkan benturan serta kekerasan ketika berhadapan dengan truth claim dari agama atau fihak lain.
Sementara itu, dalam aspek materi kajian, teologi lebih banyak berbicara dan “membela” Tuhan, bukan tentang realitas kemanusiaan sehingga ia tidak peka terhadap persoalan sosial. Karena itu, ia harus ditarik ke bumi dan dipaksa berbicara dan membela kemanusiaan. Teologi yang teosentris dirubah menjadi antroposentris dan dari yang selama ini hanya bersifat ilâhiyat (metafisika) harus diarahkan menjadi insaniyat (humaniora) dan tarikhiyat (sejarah). Antara lain, misalnya, bahwa tauhid bukan konsep yang menegaskan tentang keesaan Tuhan yang diarahkan pada faham trinitas maupun politheisme, melainkan lebih merupakan kesatuan pribadi manusia yang jauh dari perilaku dualistik, seperti hipokrit, kemunafikan atau perilaku oportunistik.
Apa yang dimaksud tauhid, bukan sekedar merupakan sifat dari sebuah dzat (Tuhan), deskripsi ataupun sekedar konsep kosong yang hanya ada dalam angan, tetapi lebih mengarah untuk sebuah tindakan kongkrit (fi’li); baik dari sisi penafian maupun menetapan (isbat). Sebab, apa yang di kehendaki dari konsep tauhid tersebut tidak akan bisa di mengerti dan tidak bisa difahami kecuali dengan ditampakkan. Jelasnya, konsep tauhid tidak akan punya makna tanpa direalisasikan dalam kehidupan kongkrit. Realisasi nafi (pengingkaran) adalah dengan menghilangkan tuhan-tuhan modern, seperti ideologi, gagasan, budaya, sains --dan bahkan agama tertentu-- yang telah membuat manusia sangat tergantung kepadanya dan menjadi terkotak-kotak. Realisasi dari isbat (penetapan) adalah dengan penetapan satu ideologi yang menyatukan dan membebaskan manusia dari belenggu-belenggu tuhan-tuhan modern tersebut.
Dengan demikian, dalam konteks kemanusiaan yang lebih kongkrit, tauhid adalah upaya pada kesatuan sosial masyarakat tanpa perbedaan agama, suku, kelas, ras dan warna kulit, sebab distingsi kelas bertentangan dengan kesatuan dan persamaan eksistensial manusia. Tauhid berarti kesatuan kemanusiaan tanpa diskriminasi atau perbedaan agama, ras, ekonomi, dan seterusnya.
Dengan konsep-konsep teologi seperti di atas, pemikiran masyarakat tidak akan lagi bersifat eksklusif melainkan pluralis, minimal inklusif. Sebab, yang diutamakan adalah kemanusiaan dan kebaikan bersama tanpa melihat perbedaan warna kulit, ras atau agama, bukan hanya kebaikan golongannya sendiri.

B. Setting Penelitian Ke Depan
Penelitian ke depan hendaknya lebih mengedepankan persoalan-persoalan praksis dan juga metodologis. Ini penting, pertama, sebagai bahan pengayaan metodologis di lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam, seperti UIN, IAIN dan STAIN. Harus diakui, selama ini kekurangan dan kelemahan utama sarjana agama adalah dalam bidang metodologi, sehingga tidak mampu mengembangkan disiplin keilmuannya. Dengan adanya penelitian seperti ini, diharapkan akan dapat membantu mengatasi kesulitan dan kelemahan tersebut. Kedua, dapat sebagai masukan bagi persoalan-persoalan praktis di lapangan yang memang membutuhkan penyelesaian segera dan tepat.


V. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Metode hermeneutika yang dikembangkan Esack sebenarnya tidak berbeda dengan konsep liberation theology Gueterrez, bahkan memang diilhami dari sana. Ia tidak berangkat dari teks menuju konteks, melainkan dari konteks (praxis) baru kepada teks. Hasil pembacaan atas teks kemudian diaplikasikan kepada praxis. Karena itu, hermeneutika Esack mempunyai nilai lebih dibanding yang lain. (a) Hermeneutika Esack tidak hanya berputar pada wacana melainkan praktis. Yang penting adalah bagaimana dapat menggerakan masyarakat, bukan pada bentuk argumentasinya. (b) Hermeneutika Esack bukan penafsiran spekulatif melainkan mengarah pada tujuan tertentu, yaitu perubahan ke arah terciptanya tatanan masyarakat yang berkeadilan.
2. Konsep kerjasama Esack didasarkan atas kepentingan sosiologis dan teologis. Secara sosiologis, kondisi masyarakat Afrika Selatan membutuhkan kerja sama untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, sedang secara teologis didasarkan atas penafsirannya terhadap teks al-Qur’an. Menurutnya, al-Qur’an secara eksplisit dan implisit menghargai dan menerima kebenaran pada agama lain, sehingga kerja sama muslim-non muslim harus dilakukan atas dasar kesadaran teologis ini.
3. Alasan Esack untuk menformulasikan kembali konsep pluralisme dan kerjasama antar umat beragama di dasarkan atas kenyataan bahwa kebanyakan tafsir-tafsir klasik yang dipakai masyarakat muslim bersifat eksklusif. Dalam kondisi yang tertindas dan lemah, umat Islam masih tidak mau berjuang bersama “orang lain” demi menegakkan kebenaran yang itu justru merupakan visi penting Islam. Sedemikian, sehingga tafsir dan sikap-sikap eksklusif mereka tidak merubah keadaan menjadi lebih baik, tetapi justru malah melanggengkan penindasan, ketidakadilan, sewenang-wenangan dan sejenisnya, yang semua itu sangat bertentangan dengan watak Islam.
B. Rekomendasi
1. Konsep pluralisme, kerukunan dan kerja sama antar agama yang dikembangkan di tanah air, terutama oleh Departemen Agama, hendaknya juga didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan teologis keagamaan, bukan semata kepentingan sosiologis. Sebab, tanpa dasar teologis, kerja sama yang dilakukan hanya semu, sehingga tetap menyimpan potensi konflik dan mudah meledak.
2. Secara metodologis, pemikiran hermenutika Esack sangat baik untuk dikembangkan dalam kajian-kajian keagamaan, dalam upaya memberikan justifikasi keilmuan terhadap pergerakan keagamaan masyarakat. Namun, yang harus dicermati, pola Esack yang sering mengambil argumen secara tidak utuh dapat menyesatkan di samping dikhawatirkan dapat terjadi “pelacuran hermeneutika”, sesuatu yang sangat dikecam oleh Esack sendiri.






DAFTAR KEPUSTAKAAN


Abu Zaid, Al-Qur`an, Hermenutik dan Kekuasaan, terj. Dede Iswadi, (Yogya, RqiS, 2003)
Abu Zaid, Nasr Hamid, Isykâliyât al-Ta`wîl wa Aliyât al-Qirâ’ah, (Kairo, al-Markaz al-Tsaqafi, tt).
Al-Razi, Tafsî Fakhr al-Râzi, XVII, 150; al-Nasafi, Majmû`ah Min al-Tafâsir, III, (Beirut, Dar al-Ahya, tt),
Azad, Abu al-Kalam, Tarjuman Qur’an, (Heiderabad, Syed Abd Latif for Qur'an, 1962)
Baidlawi, Majmû`ah Min al-Tafâsir, III, (Beirut, Dar al-Ihya, tt)
Bertens, Filsafat Barat Abad XX, I, (Yogyakarta, Kanisius, 1981).
Bleicher, Josef (ed), Contemporary Hermeneutics (London: Routledge and Kegan Paul, 1980).
Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis, (Jakarta, Paramadina, 2001).
Bultman, Rudolf, Essays, Philosophical, and Theological, (London: SCM Press,1955).
Dagut, Simon, Profile of Farid Esack , http://www.Home page Farid Esack.com
Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, I, (Beirut, Dar al-Fikr, 1976), 15
Esack, Farid, “Contemporary Religious Thought in South Africa and the Emergence of Qur’anic Hermeneutical Notion,” dalam I.C.M.R.,2. (1991)
Esack, Farid, http://www.Home page Farid Esack.com
Esack, Farid, Qur'an Liberation and Pluralism, (England, Oneworld, 1997)
Gadamer, Truth and Method, (New York, The Seabury Press, 1975).
Ibn Arabi, Tafsir Ibn Arabi, II, (Beirut, Dar al-Fikr, tt).
Ibn Hisyam, Abd Al-Malik, Sirah Rasululllah, II, (Kairo: t.p, t.t)
Lyden, John (ed), Enduring Issues In Religion, (San Diego: Greenhaven Press Inc, 1995).
Myers, Michael D. “Qualitative Research in Information System”, dalam Jurnal MIS Quarterly (12: 2), Juni 1997, 241-242,
MISQ Discovery, Archival Version, Juni, 1997, diambil dari situs http://www.misq.org/misqd961/iswolrd, Desember 2001
Rahman, Fazlur. Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung, Pustaka, 1985).
Rasyid Ridla, Tafsir al-Manâr, XI, (Beirut, Dar al-Ihya, tt)
Ridla, Rasyid, Tafsir al-Manar, I, (Beirut, Dar al-Makrifah, 1980).
Thabathabai, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, (Qum, al-Hauzah, 1973).
Segundo, Juan Louis, The Theology of Liberation, (New York: Orbit Books, 1991).
Shihab,Alwi, Islam Inklusif, (Bandung, Mizan, ).
Sumaryono, Hermeneutik, (Yogya, Kanisius, 1996).
Surachmad, Winarno, Dasar dan Teknik Research, (Bandung: Tarsito, 1978).
UGM, Laporan Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan & Kawasan bekerja sama dengan Departemen Agama RI, Perilaku Kekerasan Kolektif, Kondisi & Pemicu, (Yogya, UGM, 1997).
Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, II, (Beirut, Dar al-Ihya, tt).










CURRICULUM VITAE


1. Nama : Drs. Achmad Khudori Soleh, M.Ag
2. NIP : 150 299 504
3. Tpt/ tgl lahir : Nganjuk, 24 Nopember 1968
4. Pangkat/Gol : Lektor/ III-C
5. Jabatan : Pembantu Dekan II Bidang Keuangan dan
Administrasi Umum, Fakultas Psikologi UIN Malang
6. Alamat :
a. Rumah: Jl. Joyosuko, Gg. Metro II/ 41-R
Merjosari, Malang,
Telp : (0341) 574 217
HP : 081 555 10624
b. Kantor: Fak. Psikologi UIN Malang
Jl. Gajayana, Malang
Telp : (0341) 551354 (psw 115)
Fax : (0341) 572533

7. Pendidikan :
a. SDN tamat 1982
b. MTsN, tamat 1985
c. MAN, Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang, 1988
d. S-1, Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, Malang, 1993
e. S-2, Jur. Filsafat Islam, PPs IAIN Su-KA, Yogyakarta
f. S-3, Filsafat Islam, PPS UIN Su-Ka, Yogyakarta (proses desertasi)

8. Hasil Penelitian :
a. Pandangan dan Kritik al-Ghazali atas Teologi Islam Klasik (Ilmu Kalam), 2003
b. Konsep al-Farabi tentang Hirarki Ilmu Pengetahuan, 2004
c. Kerja sama antar Umat Beragama dalam al-Qur'an (Perspektif Hermeneutika Farid Esack), 2004
d. Membangun Integrasi Ilmu Agama dan Umum (Mencari Basis Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis), 2005
e. Epistemologi Pemikiran Islam (Perbandingan antara al-Farabi dan Ibn Rusyd), 2006

9. Karya Tulis
a. Menjadi Kekasih Tuhan, (Yogyakarta, Mitra Mustaka, 1997)
b. Kegelisahan al-Ghazali Otobiografi Intelektual (Bandung, Pustaka Hidayah, 1998)
c. Figh Kontekstual I tentang Thaharah (Jakarta, PT. Pertja, 1998)
d. Fiqh Kontekstual II tentang Shalat (Jakarta, PT. Pertja, 1998)
e. Fiqh Kontekstual III tentang Jenazah (Jakarta, PT. Pertja, 1998)
f. Fiqh Kontekstual IV tentang Zakat, Puasa dan Haji (Jakarta, PT. Pertja, 1999)
g. Fiqh Kontekstual V tentang Muamalah (Jakarta, PT. Pertja, 1999)
h. Fiqh Kontekstual VI tentang Perkawinan (Jakarta, PT. Pertja, 1999)
i. Fiqh Kontekstual VII tentang Jinayah dan Hudud (Jakarta, PT. Pertja, 2000)
j. Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta, Jendela, 2003)
k. Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004)
l. Teologi Islam, (Malang, Bayu Media, proses)

PEMIKIRAN POLITIK SUNNI, SYIAH, KHAWARIJ DAN MU’TAZILAH


MAKALAH FIQH SIYASAH

PEMIKIRAN POLITIK SUNNI, SYIAH, KHAWARIJ DAN MU’TAZILAH











DISUSUN OLEH:

                                          NOVIZA DARTIWI            (06 17 032)
                                          RAHMATURROZIKIN      (06 17 033)
                                          RANI ANGGRAINI            (06 17 034)
                                          RENI APRILIA                    (06 17 035)

DOSEN PEMBIMBING

DR. H. IDZAN FAUTANU, MA


FAKULTAS SYARIAH JURUSAN MUAMALAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
TAHUN AJARAN 2008-2009

DAFTAR ISI
Daftar Isi...........................................................................................................            
Pedahuluan.......................................................................................................            
Pembahasan......................................................................................................            
            Pemikiran Politik Sunni
            Pemikiran Politik Syiah
            Pemikiran Politik Khawarij
            Pemikiran Politik Mu’tazilah
Kesimpulan.......................................................................................................            
Daftar Pustaka..................................................................................................            





















PEMIKIRAN POLITIK SUNNI, SYIAH, KHAWARIJ DAN MU’TAZILAH

A.    PENDAHULUAN

Suatu hal yang perlu mendapat catatan dalam dunia pepolitikan Nabi Muhammad SAW dalam praktiknya baik mengenai mendirikan dan sekaligus memimpin Negara Madinah merupakan sebuah isyarat bahwasannya keberadaan sebuah negara sangatlah penting.Namun satu hal lagi mengenai Piagam Madinah yang menjadi sebuah kostitusi di era kepemimpinan Nabi Muhammad SAW tidak menyebutkan agama negara.
Dengan berbagai macam pikiran politik yang akan dibahas kali ini sekiranya kita dapat mengetahui beberapa pandangan – pandangan masing – masing kelompok sehingga dapat menemukan apa inti dari pemikiran berbagai kelompok ini.

B.     PEMBAHASAN
PEMIKIRAN POLITIK SUNNI

Sebagai kelompok mayoritas, pola pikir politik kaum Sunni biasanya sangat pro kepada pemerintah yang berkuasa.Pemikiran – pemikiran dari ahli – ahli politik Sunni cenderung membela dan mempertahankan kekuasaan.Tidak jarang pula pemikiran politik dan kenegaraan mereka menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan khalifah yang memerintahkan [1], namun atas pendapat ini Mujar Ibnu Syarif memberikan sebuah solusi ketika makalah ini dipresentasikan bahwasannya pendapat diatas merupakan suatu hal yang darurat.

Ibnu Taimiyah sebagaimana dijelaskan Iqbal, telas merumuskan bahwa enam puluh tahun berada di bawah rezim penguasa zalim lebih baik daripada sehari hidup tanpa pemimpin.Munawir Sjadzali dalam bukunya Islam dan Tata Negara mengemukakan pendapat Ghazali, Ibnu Ali Rabi’ dan Ibnu Taimiyah yang telah menyatakan dengan tegas bahwasannya kekuasaan kepada negara atau raja itu merupakan mandat dari Tuhan yang diberikan kepada hamba – hamba pilihan – Nya, dan disebutkan pula bahwa ketiga pemikir itu berpendirian bahwa khalifah itu adalah Ghazali adalah muqaddas atau suci, tidak dapat diganggu gugat. [2]Ibnu Abi Rabi’ mencari dasar lagi legitimasi keistimewaan hak – hak khalifah atas rakyatnya dalam ajaran agama, yaitu




Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa – penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa erajat.Untuk mengujimu tentang apa yang diberikan – Nya kepadamu.Sesunguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan – Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampuan lagi Maha Penyayang.(QS.Al – An’am, 6:165).




Hai orang –orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu.Kemudian jika berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al – Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar – benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(QS.Al – Nisa’,4:59).
Menurut Ibn Abi Rabi’, kedua ayat diatas merupakan penegasan Allah bahwa Ia telah memberi keistimewaan kepada para raja dengan segala keutamaan dan memperkokoh kedudukan mereka di bumi – Nya.Disamping itu Allah SWT mewajibkan kepada para ulama untuk menghormati, mengagungkan dan mentaati perintah mereka.Pandangan hampir serupa dikemukakan oleh al – Ghazali sumber kekuasaan adalah Tuhan, dan lebih jauh dikatakan bahwa pembentukan negara bukanlah berdasarkan pertimbangan rasio, melainkan berdasarkan perintah syar’i, menurutnya, mustahil ajaran – ajaran agama dapat terlaksana dengan baik kalau kondisinya tidak mendukung, sedang pendukungnya adalah negara. [3]
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa keberadaan kepala negara dibutuhkan umat Islam tidak hanya sekedar menjamin jiwa dan harta masyarakatnya, tetapi juga untuk menjamin jalannya hukum – hukum Tuhan.Sebagai konsekwensi dari kekuasaan kepala negara yang sakral, baik Ibn Abi Rabi’, Ibn Taimiyah mengharamkan umat Islam untuk melakukan pemberontakan terhadap kepala negara meskipun kafir, selama ia masih menjalankan keadilan dan tidak menyuruh berbuat maksiat kepada Allah. [4]
Mawardi berpendapat bahwa sumber kekuasaan kepala negara adalah berdasarkan perjanjian antara agama dan rakyatnya atau adanya kontrak sosial.Dari pendapat Mawardi ini lahirlah hak dan kewajiban secara timbal balik antara kedua belah pihak yakni rakyat dan penguasa.Suatu hal yang perlu mendapat perhatian dari al – Mawardi yakni menekankan kepatuhan terhadap kepala negara (pemimpin) yang telah terpilih.
Kepatuhan ini tidak hanya kepada pemimpin yang adil, tetapi juga kepada pemimpin yang jahat.
Ciri lain didalam pemikiran politik golongan Sunni ini adalah penekanan mereka terhadap suku Quraisy sebagai kepala negara walaupun Ibn Abi Rabi’ tidak menyinggungnya secara tegas, dan Muhammad Iqbal memasukkan pemikiran Muhammad Rasyid Ridha yang hidup dimasa modern yang masih menekankan suku Quraisy di dalam pemikiran politiknya.
Namun sebagai mana disinggung Iqbal pula yang memasukkan pola pemikiran Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa syarat Quraisy bukanlah sebuah harga mati.


PEMIKIRAN POLITIK SYI’AH
Sebelum merambah lebih jauh lebih jauh mengenai pemikiran politik Syi’ah terasa tidak sah dan nyaman bila tidak mengetahui sejarah lahirnya kelompok ini.Mengenai kelahiran kelompok ini banyak sekali aneka ragamnya, sebagaimana dijelaskan oleh Iqbal yang mengatakan bahwasannya Syi’ah lahir sebagai reaksi atas mayoritas kelompok Sunni yang sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW telah mendominasi dalam percaturan politik Islam[5], selanjutnya Munawir Sjadzali mengatakan titik awal dari lahirnya Syi’ah karena berawal dari ketidak setujuan atas kekhalifahan Abu Bakar dan berpendirian bahwa yang berhak menjadi khalifah adalah Ali[6], para ahli penulis sejarah sebagaimana dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam sebagian menganggap Syi’ah lahir setelah wafatnya Nabi Muhammad  SAW, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan Anshor di Balai pertemuan Saqifah Bani Sa’idah[7], yang diselenggarakan di gedung pertemuan yang dikenal dengan Dar al – Nadwa di Madinah[8], dan lebih jauh dijelaskan sebagian ahli sejarah menganggap Syi’ah lahir pada masa akhir khalifah Usman bin Affan atau pada masa awal kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dan dijelaskan dalam Ensiklopedi itu lebih jauh mengatakan bahwasannya pendapat yang paling populer adalah bahwa Syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan Ali dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Siffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa at – Tahkim atau arbitasi.Dan Abu Zahroh memperkuat atas pendapat ini dengan mengatakan bahwasannya Syi’ah adalah mazhab politik pertama lahir dalam Islam, mazhab mereka tampil pada akhir pemerintahan Atsman, kemudian tampil pada akhir masa Ali. [9]
Pada perkembangan selanjutnya, aliran Syi’ah ini terpecah menjadi puluhan cabang atau sekte, hal ini disebabkan karena cara pandang yang berbeda dikalangan mereka mengenai sifat imam ma’shum atau tidak dan perbedaan didalam menentukan pengganti imam.

Kaum Syi’ah menetapkan bahwa seorang imam: [10]
  1. Harus ma’shum (terpelihara) salah, lupa, dan maksiat.
  2. Seorang imam boleh membuat hal luar biasa dari adat kebiasaan.
  3. Seorang iam harus memiliki ilmu yang meliputi setiap sesuatu yang berhubugan dengan syari’at.
  4. Imam adalah pembela agama dan pemelihara kemurnian dan kelestarian agar terhindar dari penyelewengan.
Tidak seperti kelompok syi’ah lainnya Syi’ah Zaidiyah tidak menganut paham dan teori imam bersembunyi.Bagi mereka imam harus memimpin umat dan berasal dari keturunan Ali dan Fatimah, Syi’ah Zaidiyah tidak meyakini bahwa Nabi telah menetapkan orang dan nama tertentu untuk menjadi imam.Nabi hanya menetapkan sifat – sifat yang mesti dimiliki seorang imam yang akan menggantikan beliau.Terjadinya pengkultusan terhadap diri Ali oleh kaum Syi’ah sebagaimn dijelaskan oleh suyuti merupakan tidak bisa lepas dari pendapat Khawrij yang mengkafirkan Ali sejak peristiwa tahkim (arbitrase).Tentunya untuk mengimbangi pernyatan dari kaum yang mereka anggap berseberangan dengan mereka ini maka kelompok Syi’ah membuat doktrin untuk menyeimbangi hal tersebut, yaitu mengangkat dan mengkultuskan pada tingkat ma’shum, dan mendoktrin bahwa ia telah ditetapkan melalui wasiat Nabi sebagai imam untuk pengganti Nabi. [11]
Iqbal menulis, secara sosio – politik, berkembangnya doktrin Syi’ah dipengaruhi oleh beberapa faktor.Pertama, imam – imam Syi’ah, selain Ali Ibn Abi Thalib, tidak pernah memegang kekuaaan politik.Mereka lebih memperlihatkan sosoknya yang memiliki integritas dan kesalehan yang tinggi.Merek tidak memiliki pengalaman praktis dalam memerintah dan menangani permaslahan politik riil.Ketika mereka melihat realitas politik tidak sesuai dengan nilai – nilai keislaman sebagaiman mereka inginkan, maka mereka mengembangkan doktrin kema’shuman imam.Sebagian pemimpin yang ide.Kedua, sebagian pengikut syi’ah berasal dari Persia ikut membentuk paradigma dalam corak pemikiran Syi’ah, yang diketahui mereka dahulukalanya yakni mengagungkan raja dan menganggapnya sebagai manusia suci, hal ini terlihat pada salah satu kelompok ini yang mempunyai suatu paradigma yakni imam Ali adalah penjelmaan Tuhan yang tinggi martabatnya bahkan dari Nabi Muhammad sendiri.Ketiga, pengalaman pahit yang selalu dialami pengikut Syi’ah dalam percaturan politik ikut mempengaruhi berkembangnya doktrin al – Mahdi al – Muntatazhar yang akan melepaskan mereka dari penderitaan.
Dari sekian banyak kelompok ditubuh syi’ah, Iqbal mengelompokkan golongan ini menjadi tiga aliran:pertama: Moderat, umumnya memandang Ali sebagai manusia biasa, dapat menerima kekhalifahan Abu Bakar dan Umar.Kedua:Ekstrem, menempatkan Ali sebagai seorang nabi yang lebih tinggi dari Nabi Muhammad sendiri, bahkan ada yang mengnggap Ali sebagai penjelmaan tuhan.Ketiga: diantara kedua kelompok diatas, Ali sebagai pewaris yang sah jabatan khalifah dan menuduh Abu Bakar dan Umar telah merebutnya dari tangan Ali, tidak memperlakukan Ali tidak seperti nabi yang lebih utama dari Nabi Muhammad, apa lagi penjelmaan Tuhan.
Diantara sekian banyak sekte, terdapat 3 sekte besar dan berpengaruh dalammazhab Syi’ah hingga sekarang yaitu: Zaidiyyah, Ismailiyyah (Sab’iyyah), dan Imamiyah (Isna’ Asy’ariyah). [12]
Sebelum membahs lebih lanjut sebaiknya mengetahui nama – nama masing imam dalam tubuh Syi’ah:
  1. Zaidiyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein Ibn Ali, Ali Zaenal Abidin, Zaid ibn Ali.
  2. Isma’iliyah atau Sab’iyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein ibn Ali, Ali Zaenal Abidin, Muhammad al – Baqir, Ja’far al – Shadiq, Isma’il ibn Ali.
  3. Imamiyyah atau Isna ‘Asyariyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein ibn Ali, Ali Zaenal Abidin, Muhammad al – Baqir, Ja’far al – Shadiq, Musa al – Kadzim, Ali al – Ridho, Muhammad al – Taqi’, Ali al – Hadi, Hasan al – Askari, Muhammad al – Mahdi.
Untuk memperjelas paham syi’ah ini perlu dikethui ad beberapa paham yang berkembang diklangan mereka dan mengalami perbedaan – perbedaan, an untuk mempermudah alam permahaman kelompok atau sekte dalam tubuh Syi’ah ini dapat kita lihat di bagan berikut:



Skema Perpecahan dalam tubuh Syi’ah
1. Ali
2. Hasan
3. Husein






































4. Ali Zaenal Abidin
 
4. Muhammad bin Hanafiyyah (Mukhtar bin Ubaid al – Tsqifi), (sekte Kaisaniyah)
 





  5. Abu Ja’far
Muhammad al – Baqir
(Sekte Imamaiyah)
 
       5. Zaid
(Sekte Zaidiyah)
 




6. Ja’far ash - Shadiq
 


7. Musa al - Kadzim
 
    7. Isma’il
(Sekte Isma’iliyyah/Bathiniyyah)
 

8. Ali al - Ridho
 



9. Muhammad al – Taqi’
 


10. Ali al - Hadi
 


11. Hasan al - Askari
 


12. Muhammad al – Mahdi
(sekte Imamiyyah Itsna Asyariyah)
 


Perbandingan paham dalam mazhab Syi’ah

Sekte
Kualifikasi Imam

Jumlah Imam
Dasar pengangkatan
Harus ‘Ali
Ismah
Ghabiah
intizhar
Zaidiyah
5 Orang
‘Ali bin Abi Thalib. Husen Ibn ‘Ali. ‘Ali Zainal al-‘Abidin Zaid ibn Ali
Isyarat sifat-sifat imam oleh Nabi Saw.

Tidak
Tidak
Tidak
Isma’iyah tsabiyah
5 Orang
‘Ali bin Abi Thalib. Husen Ibn ‘Ali. ‘Ali Zainal al-‘Abidin Muhammad al-Baqir. Ja’far al-shadiq. Isma’il ibn Jafar

Ya
Ya (tidak pernah)
Ya
Ya
Imamiyah (Isna ‘Asy Anyah
12 Orang
‘Ali bin Abi Thalib. Husen Ibn ‘Ali. ‘Ali Zainal al-‘Abidin Muhammad al-Baqir. Ja’far al-shadiq. Musa al-Kharim, ‘Ali al-Ridha. Muhammad al-Taqi’. ‘Ali al-‘Aska
Muhammad al-Mahdi

Ya
Ya (tidak pernah)
Ya
Ya

PEMIKIRAN POLITIK KHAWARIJ

Kelompok Khawarij muncul bersama dengan mazhab Syi’ah.Masing – masing muncul sebagai sebuah mazhab pada pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib.Pada awalnya kelompok ini adalah para pendukung Ali bin Abi Thalib, meskipun pemikiran kelompok ini lebih dahulu dari pada mazhab Syi’ah. [13]
Khawarij adalah kelompok sempalan yang memisahkan diri dari barisan Ali setelah arbitase atau tahkim yang mengakhiri perseteruan dan kontak senjata antara Ali dan Mu’awiyah di Siffin. [14] Dan suatu hal yang aneh kelompok yang semula merupakan sebuah kelompok yang memaksa Ali untuk menerima tahkim dan menunjuk orang yang menjadi hakim atas pilihan mereka ketika Ali pada mulanya hendak mengangkat Abdullah Ibn Abbas, tetapi atas desakan pasukan yang keluar (Khawarij) akhirnya mengangkat Abu Musa al – Asy’ari, belakangan memandang perbuatan tahkim sebagai kejahatan besar, menurut kelompok ini Ali telah menjadi kafir kerana menyetujui tahkim dan menuntut Ali agar bertaubat sebagaimana mereka telah kafir, tetapi mereka telah bertaubat.Pegikut Khawarij terdiri dari suku Arab Badui yang masih sederhana cara berfikirnya, sikap keagamaan mereka sangat ekstrim dan sulit menerima perbedaan pendapat dan diterangkan oleh Abu Zahroh bahwasannya para pengikut kelompok Khawarij pada umumnya terdiri atas orang Arab pegunungan yang ceroboh dan berpikiran dangkal, beberapa sikap ekstrim ini pula yang membuat kelompok ini terpecah – pecah menjadi beberapa kelompok. [15]
Menurut mereka, hak untuk menjadi kahalifah tidak terbasta pada keluarga atau kabilah tertentu dari kalangan Arab, bukan monopoli bangsa tertentu tetapi hak semua manusia. [16] Meskipun mereka cenderung ekstrim dan sulit menerima perbedaan sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Iqbal bahwasannya pandangan mereka yang lebih maju dari pada Sunni maupun Syi’ah.Mereka dapat menerima pemerintahan Abu Bakar, Umar, Utsman pada enam tahun pertama dan Ali sebelum menerima arbitase dengan alasan pemerintahan mereka pada masa sesuai dengan ketentuan syari’at.
Suatu hal yang lebih jauh Iqbal membandingkan dengan kelompok Sunni dan Syi’ah, Khawarij tidak mengakui hak – hak istimewa orang atau kelompok tertentu untuk menduduki jabatan khalifah.Jabatan khalifah bukan monopoli mutlak suku Quraisy sebagaimana pandangan Sunni misalkan saja pandangan al – Ghazali, al – Juwaini, al – Asqolani, al – Maududi dan Ibnu Khaldun dan ungkapan yang tersirat pada pandangan Ibnu Abi Rabi’ dan pandangan Muhammad Rasyid Ridho yang hidup pada masa modern, [17] juga bukan hak khusus Ali dan keluarga sebagaimana pandangan kaum Syi’ah.Mungkin untuk mempertegas masalah ini kita melihat beberapa prinsip yang disepakati oleh aliran – aliran Khawarij. [18]
Pertama, pengangkatan khalifah akan sah hanya jika berdasarkan pemilihan yang benar – benar bebas dan dilakukan oleh semua umat Islam tanpa diskriminasi.Seorang khalifah tetap pada jabatannya selama ia berlaku adil, melaksanakan syari’at , serta jauh dari kesalahan dan penyelewengan.Jika ia menyimpang, ia wajib dijatuhi hukuman yang berupa dijatuhkan dari jabatannya atau dibunuh.
Kedua, jabatan khalifah bukan hak khusus keluarga Arab tertentu, bukan monopoli suku Quraisy sebagai dianut golongan lain, bukan pula khusus untuk orang Arab dengan menafikan bangsa lain, melainkan semua bangsa mempunyai hak yang sama.Khawarij bahkan mengutamakan Non Quraisy untuk memegang jabatan khalifah.Alasannya, apabila seorang khalifh melakukan penyelewengan dan melanggar syari’at akan mudah untuk dijatuhkan tanpa ada fanatisme yang akan mempertahankannya atau keturunan keluarga yang akan mewariskannya.
Ketiga, yang bersal dari aliran Najdah, pengangkantan khalifah tidak diperlukan jika masyarakat dapat menyelesaikan masalah – masalah mereka.Jadi pengangkatan seorang imam menurut mereka bukanlah suatu kewajiban berdasarkan syara’, tetapi hanya bersift kebolehan.Kalau pun pengangkatan itu menjadi wajib, maka kewajiban berdasarkan kemaslahatan dan kebutuhan.
Keempat, orang yang berdosa adalah kafir.Mereka tidak membedakan antara satu dosa dengan dosa yang lain, bahkan kesalahan dalam berpendapan merupakan dosa, jika pendapat itu bertentangan dengan kebenaran.Hal ini mereka lakukan dalam mengkafirkan Ali dan Thalhah, al – Zubair, dan para tokoh sahabt lainnya, yang jelas tentu semua itu berpendapat yang tidak sesuai dengan pendapat khawarij.
Dari keterangan diatas, menurut mereka siapa saja berhak menduuki jabatan khalifah bahkan mereka mengutamakan orang selain dari Non Arab.Dan dari pemikiran diatas, pengikut khawrij berpandangan pengangkatan khalifah dan pembentukan negara adalah masalah kemaslahatan manusia saja, mereka tidak menganggap kepala negara sebagi seorang yang sempurna, Iqbal menjelaskan bahwasanya Khawarij menggunakan mekanisme syura untuk mengontrol pelaksanaan tugas – tugas pemerintahan, hal ini menujukkan kedemokrasian klompok ini. [19]

PEMIKIRAN POLITIK MU’TAZILAH
Kelompok ini Mu’tazilah pada awalnya merupakan gerakan atau sikap politik beberapa sahabat yang gerah terhadap kehidupan politik umat Islam pada masa pemerintahan Ali. [20] Dengan terjadinya konflik dalam internal umat Islam mengenai pengangkatannya khalifah yang keempat.
Penanaman kelompok ini dengan Mu’tazilah baru terjadi pada saat terjadinya perbedaan – perbedaan antara Washil Ibn Atha dega gurunya Hasan al – Bashri pada abad ke II H, tentang penilaian orang yang berbuat banyak dosa[21]dalam referensi lain disebutkan orang yang berbuat dosa besar.[22]Namun Harun Nasution sendiri menjelskan banyak sekali asal usul nama Mu’tazilah walaupun para ahli talah mengajukan pendapat mereka namun belum ada kata sepakat antara mereka.
Kelompok Mu’tazilah selanjutnya berkembang menjadi sebuah aliran teologi rasional, akan tetapi sesuai dengan situai dan perkembangan saat itu, pemikiran – pemikiran mu’tazilah merambah kelapangan siyasah, hal ini dapat dilihat dari tokoh mereka Abd al – Jabbar yang berbicara tentang khalifah, ia berpandangan bahwa pembentukan lembaga khalifah bukanlah kewajiban berdasarkan syar’i karena nash tidak tegas mempermasalahkan untuk membentu negara dan Suyuti menambahkan dalam karangannya, melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah manusia. [23]
Abd al – Jabar menempatkan kepala negara pada posisis yang sama dengan umat Islam lainnya, menurutnya kepala negara bukan sosok yang luar biasa sebagimana pandangan Syi’ah atau pendapat Sunni yang lebih mengutamakan suku Quraisy untuk menduduki kepala negara, menurutnya kalangan mana dan siapapun boleh menjadi kepal negara, asalkan ia mampu melaksanakannya, kepala negara ditentukan berdasarkan pemilihan umat Islam sendiri.

























C.    PENUTUP
Dari pembahasan diatas sebagai pelengkap dari makalah ini ada tiga pemikiran politik kenegaraan dalam Islam.Pertama, aliran aristokrasi dan monarki yang diwakili oleh kelompok Sunni.Kedua, aliran teokrasi yang diwakili oleh Syi’ah kecuali Syi’ah Zaidiyah.Ketiga, aliran demokrasi yang dianut oleh Khawarij.
Dengan mengetahui pemikiran politik masing – masing golongan ini semoga kita paham apa arti sebuah perbedaan yang inti dari perbedaan diatas adalah betapa pentingnya sebuah negara, terlepas apakah disana terdapat perbedaan – perbedaan.























DAFTAR PUSTAKA
Iqbal, Muhammad, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Persada, 2001.
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran – Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986.
Pulungan, Suyuti, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1997.
Redaksi Ensiklopedi Islam Ringkas, Ensiklopedi Islam Ringkas, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, Januari 1999, jilid keenam.
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, Cetakan kedua.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1990.
Zahrah, Imam Muhammad, Tarikh al – Madzahib al – Islamiyyah, terjemahan Abd.Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, Jakarta: Logos, 1996, cetakan kesatu.s


[1] Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah, (Jakarta:Gaya Media Pratama, 2001), hal.106.
[2] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (UI – Press, 1990), hal.108.
[3] Muhammad Iqbal, Op, Cit., hal.107.
[4] Ibid, hal.109.
[5] Muhammad Iqbal, Op, Cit., hal.112.
[6] Munawir Sjadzali, Op, Cit., hal.211.
[7] Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), Cetakan keenam, hal.5.
[8] Redaksi Ensiklopedi Islam Ringkas, Ensiklopedi Islam Ringkas, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,Januari 1999), Cetakan kedua, hal.385.
[9] Imam Muhammad Abu Zahroh, Tarikh al – Madzahib al - Islamiyyah, terjemahan Abd.Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, (Jakarta: Logos, 1996), cetkakan kesatu, hal.34.
[10] Suyut Pulungan, Fiqih Siyasah, (Jakarta; PT.Raja Grafindo Persada, 1997), cet ketiga, hal.207.
[11] Ibid, hal.208.
[12] Muhammad Iqbal,Op. Cit. hal.24.
[13] Ibid, hal.63.
[14] Muhammad Iqbal,Op. Cit. hal.120.
[15] Harun Nasution,Teologi Islam Aliran – Aliran Sejarah Analis Perbandingan, (UI; Press, 1986), Cet.Kelima, hal.13.
[16] Abu Zahroh,Op. Cit. hal.68.
[17] Munawir Sjazdali,Op. Cit. hal.217.
[18] Abu Zahroh,Op. Cit. hal.69 - 70.
[19] Muhammad Iqbal,Op. Cit. hal.121.
[20] Ibid, hal.24.
[21] Munawir Sjadzali,Op. Cit. hal.218.
[22] Muhammad Iqbal,Op. Cit. hal.122., Harun Nasution, Op.cit., hal.38.
[23] Suyuti Pulungan,Op. Cit. hal.209.