Wednesday, November 24, 2010

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN INDONESIA PADA MASA PENGARUH ISLAM


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Pendidikan
Dosen Pengampu: Dyah Kumalasari M.Pd.


 






Disusun Oleh:
Irfan Dwi Rohmawan          (06406241040)
Ag. Danish Singgih P            (07406244044)
Lilik Ardiansyah                   (08406244001)
Gita Permata Sari                 (08406244018)
Retno Wardoyo                     (08406244040)

PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA



BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang  
 Pendidikan Islam di Indonesia telah berlangsung sejak masuknya Islam ke Indonesia. Pada tahap awal pendidikan Islam dimulai dari kontak pribadi dan kolektif antara mubalig (pendidik) dengan peserta didiknyasetelah komunitas muslim terbentuk di suatu daerah, maka mulailah mereka membangun masjid. Masjid difungsikan sebagai tempat ibadah dan pendidikan. Masjid merupakan lembaga pendidikan Islam yang pertama muncul di samping rumah tempat kediaman ulama atau mubalig. Setelah itu muncullah lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya seperti pesantren, dayah, surau. Nama-nama tersebut walaupun berbeda, tetapi hakekatnya sama yakni sebagai tempat menuntut ilmu pengetahuan agama. Perbedaan nama adalah dipengaruhi oleh perbedaan tempat. Perkataan pesantren populer bagi masyarakat islam di Jawa, rangkang, dayah, di Aceh, surau di Sumatra Barat. Inti dari materi pendidikan tersebut adalah ilmu-ilmu agama yang dikonsentrasikan dengan membaca kitab-kitab klasik adalah menjadi ukuran bagi tinggi rendahnya ilmu seseorang.

  1. Rumusan Masalah
  1. Bagaimana Tujuaan dan Landasan Pendidikan Islam?
  2. Bagaimana Sistem Pendidikan dan Pengajaran Islam?
  3. Bagaimana Corak dan Sifat Pendidikan Islam?










BAB II
PEMBAHASAAN

  1. Tujuaan dan Landasan Pendidikan Islam
Islam berprinsip demokrasi, maka pengajarannya merupakan pengajaran rakyat. Tujuannya memberikan pengetahuan tentang agama, bukan untuk memberikan pengetahuan umum. Pendidikan Islam juga bertujuan mencapai pertumbuhan yang seimbang dalam kepribadian manusia secara total melalui latihan dan pengkondisian kegiatan kognitif, afektif dan psikomotorik. Karena itu pendidikan memberikan jalan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya. Karena itu pendidikan Islam bertujuan:
  1. Membentuk manusia beraqidah (tarbiyah ‘aqidiyah)
  2. Membentuk manusia beraklak mulia (tarbiyah khuluqiyah)
  3. Membentuk manusia berfikir (tarbiyah fikriyah)
  4. Membentuk manusia sehat dan kuat (tarbiyah jismiyah)
  5. Membentuk manusia kreatif, inisiatif, antisipatif, dan responsive (tarbiyah am liyah)
Sedangkan landasan Pendidikan Islam mengidentifikasi sasarannya yang digali dari sumber ajarannya yaitu Al Quran dan Hadist, meliputi empat pengembangan fungsi manusia :
 1) Menyadarkan secara individual pada posisi dan fungsinya ditengah-tengah makhluk lain serta tanggung jawab dalam kehidupannya.
2) Menyadarkan fungsi manusia dalam hubungannya dengan masyarakat, serta tanggung jawabnya terhadap ketertiban masyarakatnya.
3) Menyadarkan manusia tterhadap pencipta alam dan mendorongnya untuk beribadah kepada Nya


  1. Sistem Pendidikan dan Pengajaran Islam

1.      Langgar
Dua lembaga pendidikan memegang peranan penting pada penyebaran agama Islam di pulau jawa, yakni “Langgar dan Pesantren”. Pengajaran dilanggar merupakan pengajaran agama permulaan. Mula-mula murid-murid mempelajari abjad arab, kemudian mengejah ayat-ayat al-quran pertama dengan suara tertentu. Pelajaran diberikan dengan sistem sekepala, guru menyebutkan sesuatu dan murid menirunya, yang dicita-citakan ialah dapat membaca al-quran sampai tamat.Lama belajar tidak tentu, biasanya berlngsung kurang lebih satu tahun. Tetapi kadang-kadang hanya diikuti selama beberapa bulan saja. Biasanya pelajaran diberikan pada pagi hari dan malam hari, berlangsung kira-kira dua jam lamanya. Biasanya yang menjadi gurunya adalah seseorang yang sudah memiliki pengetahuan agama yang agak mendalam. Guru itu tetap dipandang sebagai orang yang sakti, murid-murid tidak boleh mengencam kepada guru, karena dianggap berdosa. Uang sekolah tidak dipungut bagi pelajaran agama permulaan itu. Bila seseorang murid sudah menamatkan pelajarannya dalam arti sudah dapat membaca al-quran sampai tamat, maka diadakan selamatan atau biasa disebut khataman.

2.      Pesantren
Pengajaran yang lebih lanjut dan lebih mendalam diberikan dipesantren. Murid-muridnya dinamakan santri, pada umumnya terdiri dari anak-anak yang lebih tua dan telah memiliki pengetahuan dasar, yang mereka peroleh dilanggar. Para santri yang biasa berasal dari berbagai tempat, dikumpulkan dalam satu ruangan yang disebut pondok  (semacam asrama). Berdekatan dengan pondok berada masjid dan rumah guru. Biasanya guru lazim dipanggil ajengan atau kiyai, adakalanya guru menerima sumbangan dari murid-muridnya berupa uang atau bahan makanan. Sumbangan itu betul-betul merupakan kerelaan dari santrinya. Guru hidup bersama santri-santrinya, adakalanya santri-santri itu harus memasak makanan sendiri-sendiri.
Untuk itu mereka membawa bekal dari rumahnya masing-masing berupa beras, uang dan alat-alat menanak nasi. Lama belajar disini tidak menentu, ada yang 1 tahun, tetapi ada juga yang sampai 10 tahun atau lebih. Banyaknya santri yang belajar pada beberapa pesantren, pelajaran pertama diberikan pada pagi hari, sesudah selesai sembhayang shalat subuh. Sesudah itu para santri melakukan kerja bakti bagi gurunya, seperti membersihkan halaman, berkebun, berkerja disawah dan sebagainya. Sesudah makan siang semua beristirahat, untuk kemudian dimulai lagi dengan pelajaran dan diselilingi dengan menghafal. Ba’da magrib atau ba’da isya dimulai lagi dengan pelajaran.
Mata pelajaran yang terpenting adalah :
  1. Usuluddin ( pokok-pokok ajaran kepercayaan )
  2. Usul Fiqh ( alat pengali hukum dari quran dan hadits)
  3. Fiqh (cabang dari usuluddin)
  4. Ilmu arobiyah ( untuk mendalami bahasa agama )

Di Sumatera barat tidak ada pemisahan antara langgar dan pesantren. Sekolah-sekolah agama disana diberi nama surau. Di Aceh sekolah agama semacam itu disebut Rangkang. Dari uraian diatas jelaslah bahwa pesantren (surau atau rangkang) itu banyak menunjukan persamaan dengan pusat-pusat pendidikan di India. Kalau ada perbedaan hanya terletak pada bahan pengajaran saja dan juga pada murid-muridnya. Pengajaran islam diikuti oleh setiap orang yang menghendakinya.

  1. Corak dan Sifat Pendidikan Islam
Pada umumnya, Islam di Nusantara berkembang melalui pendekatan-pendekatan budaya oleh seorang ulama. Ketika itu, aset-aset setempat diubah menjadi prasarana untuk penyebaran ajaran agama, sehingga membawa kesan yang positif terhadap masyarakat. Ini berbeda dengan pendekatan radikal yang sering membawa imej tegas dan keras. Berdasarkan isu pendekatan tradisi dan budaya yang dilakukan oleh ulama ini, Taufik Abdullah menyimpulkan terdapat tiga corak penyebaran Islam di Nusantara, yaitu corak Pasai, corak Melaka dan corak Jawa. Dalam ketiga-tigA bentuk pendekatan itu, ulama tetap menjadi kunci dalam pengukuhan ajaran Islam, bahkan ulama sangat berpengaruh terhadap perubahan sosial. Perubahan sosial ini berhubung erat dengan perubahan sosial yang bersifat profetik. Untuk itu diperlukan paradigma untuk menjelaskan perubahan ini. Pada corak Pasai, Islam berkembang melalui dinamika kultur kerajaan.
Corak Malaka, pada umumnya dipengaruhi perdagangan, yaitu pendekatan terhadap situasi perdagangan. Sedangkan corak Jawa lebih kentara dilakukan melalui penaklukan pusat kekuasaan setempat. Berdasarkan tiga corak penyebaran ini, Taufik Abdullah menemui dua bentuk penerimaan Islam dalam masyarakat. Dalam corak Pasai dan corak Melaka, formasi sosial Islam dalam masyarakat lebih menyatu, sehingga terjadi pengisianpengisian terhadap budaya setempat (integrative tradition). Sedangkan pada corak Jawa dengan titik fokus penaklukan pusat kerajaan, maka formasi sosial Islam lebih cenderung bercorak dialog yang disebut dengan tradition of dialogue Selanjutnya, Trimingham dalam menganalisa penyebaran Islam di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia, mengatakan bahawa faktor sejarah dan sosiologi masyarakat setempat tidak dapat ditinggalkan. Menurutnya, Islam berkembang melalui organisasi dengan tiga fasa perkembangan, yaitu fasa kangah, fasa tariqah, dan fasa taifah. Pada fasa kangah ditandai dengan kehidupan keagamaan dan sosial yang tidak berstruktur dan bercampur-aduk. Kangah sebagai pusat aktivitas seorang guru (ulama) dalam menyebarkan ajarannya. Guru memegang otoritas terhadap hal-ihwal Islam, sehingga Islam berkembang dalam dinamika keguruan. Situasi penyebaran Islam seperti ini berlaku di seluruh dunia Islam.
Selanjutnya, Nizami (1957) dan Rizvi (1983) mengulas tentang fasa pertama, yaitu fasa kangah yang menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan di daerah-daerah baru Islam. Aktivitas yang berlaku dalam kangah memainkan peranan penting dalam mengintegrasikan masyarakat bukan Islam ke dalam komunitas Islam, karana pada fasa kangah ini, guru (ulama) memainkan peranan dalam berbagai bidang seperti pendidikan, budaya, politik dan ekonomi, yang sangat penting dalam membentuk kepercayaan keagamaan masyarakat.
Penyebaran Islam pada fasa kedua yaitu fasa tariqah merupakan fasa perkembangan aliran-aliran mistik dan sistimisasi terhadap pengajaran mistik. Sedangkan fasa ketiga telah menyemai munculnya apa yang disebut paradigma kiyai-santri, yang mana lahirlah para santri dan murid-murid yang patuh kepada kyai sebagai guru mereka. Pemikiran guru inilah kemudian disesuaikan dan dikembangkan oleh murid-murid ke daerah lain, atau ke kawasan tempat kediaman murid-murid setelah belajar dari seorang guru. Dalam catatan sejarah sejak delapan puluh hingga sembilan puluh tahun yang lalu, karya-karya daripada penyebar agama ini termasuk kaum sufi Islam memainkan peranan penting dalam proses Islamisasi. Ini menandakan bahawa alur penyebaran ajaran agama sangat didominasi oleh kancah pemikiran ulama. Situasi ini memudahkan untuk melihat pergerakan aliran-aliran teologi yang berkembang dalam masyarakat Islam. Biasanya, fenomena ini dapat dilihat dengan mudah melalui tarikat. Ajaran yang dikembangkan ulama pada umumnya bersesuaian dengan ajaran guru terdahulunya.
Dalam situasi tersebut, ulama telah mengemukakan ajaran Islam dasar sebagai panduan umat beragama dan ajaran itu sekaligus sebagai identiti mereka. Namun, keadaan masyarakat tradisional ini sangat berbeda dengan ulama tradisional, ulama tradisional sama halnya dengan kiyai tradisional di Jawa. Islam visi Kyai tradisional sering digambarkan sebagai fanatik dan teknik ritual dan agak menelantarkan dimensi pemahaman (rasionalitas) serta dimensi sosial. Ulama-ulama tradisional, juga tidak boleh lepas dari komunitas masyarakat tradisional. Ulama yang hidup dalam kancah masyarakat tradisional yang biasanyadiliputi oleh kemiskinan, tingkah laku dan taraf pemikiran yang masih sederhana. Situasiini membatasi ulama dalam menyampaikan ajaran keagamaan yang lebih rasional dan modern. Formulasi ulama tradisional tidak selamanya terikat pada konteks pemikiran, tetapi juga bergantung pada komunitas yang dihadapi. Tetapi, dalam konteks ini, ulama tradisional dipahami sebagai elit agama yang mempunyai pemikiran tekstual dan kurang memperhatikan konteks reality dan rasional.
Pengabaian salah satu faktor tersebut akan menyebabkan berlakunya ketidaksempurnaan dalam ajaran Islam. Bagi golongan ini, agama dianggap sebagai suatu yang muktamad dan tidak boleh dibuat pentafsiran semula lagi. Teks agama harus dipahami seperti yang ada, sehingga kepahaman Islam terseleweng dan sukar menerima tafsiran yang rasional. Situasi ini menyulitkan mereka untuk melakukan perubahan. Semua ajaran yang berbeda dari tradisi kelompok dianggap sebagai penyimpangan terhadap ajaran agama. Bahkan, sering melemparkan tuduhan kafir. Di Minangkabau, situasi ini dapat dibaca dalam alur sejarah sebelum terjadinya pembaharuan pendidikan Islam
Sifat Pendidikan Islam didasarkan pada:
  1. Robbaniyah, seluruh aspeknya didasarkan pada nilai robbaniyah dijabarkan dalam Kitabullah dan Sunnah RasulNya.
  2. Syamilah, pendidikan dibangun dengan memperhatikan segala aspek dalam kehidupan baik akal, jasad dan ruh, maupun dalam kerangka hubungan individu dengan masyarakat, alam dan al Khaliq. Tanpa pemisahan.
  3. Mutakamilah, Pendidikan tidak terbatas pada tempat tertentu. Berlangsung di sekolah, masjid, rumah, di jalan, di kebun, medan pertempuran bahkan di pasar.
  4. Marhaliyah, Seluruh tabiat alam terjadi secara bertahap, demikian pula perkembangan fisik dan psikis manusia. Karena itu pendidikan dibangun dengan sifat bertahap dan mengikuti perkembangan kematangan manusia.
  5. Fardhiyah, Islam mewajibkan setiap individu untuk menuntut ilmu. Implikasinya, berarti melibatkan semua pihak untuk mempersiapkan segala perangkat, sarana dan perlengkapan pendidikan sebaik-baiknya.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Bersamaan masuknya agama Islam ke Indonesia masuk pula kebudayaannya. Pengaruh kebudayaan Islam meliputi semua segi kehidupan, termasuk pendidikan. Tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia muslim yang sholeh (berakhlak) yang baik. Ada dua lembaga pendidikan penting pada penyebaran agama Islam yakni : langgar dan pesantren disusul kemudian adanya madrasah. Pendidikan agama Islam tidak terbatas, siapapun boleh mengikuti lembaga pendidikan Islam, sifat pendidikan demokratis dan pengajaran unuk rakyat. Di suatu tempat seperti di Sumatera Barat tidak ada pemisahan antara langgar dan pesantren, di sini sekolah agama Islam disebut “surau”. Kemudian sekolah-sekolah Islam berkembang dan mendirikan bangunan sekolah yang disebut madrasah.


DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, M.A.1997.Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Djumhur. 1959. Sejarah Pendidikan. Bandung: CV Ilmu Bakti
Haidar Putra Daulay. Sejarah Pertumbuhaan dan Pembaharuaan Pendidikan Islam di Indonesia.
Zuhairini. Dra, dkk., 1995. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara


No comments:

Post a Comment