Wednesday, November 24, 2010

MORALITAS PENDIDIKAN PESANTREN



1.   Esei- asei pesantren
·         Tradisi pesantren sebagai bentuk akulturasi budaya dengan islam.
Menurut dzamaksai Dhofir, yang dimaksud islam tradisional ialah islam yang masih terikat kuat dengan pikiran-pikiran para ulama ahli fiqh(hukum islam), hadist, tafsir, tauhid,(teologi islam) dan tasawuf yang hidup antara abad ketujuh sampai dengan abad ke tiga belas. Tetapi ini tidak berarti bahwa islam tradisional dewasa ini tetap terbelengu dalam bentuk-bentuk pikiran dan aspirasi yang diciptakan oleh ulama pada abad-abad tersebut. Memang betul, dari abad ke tiga belas sampai akhir abad sembilan belas perumusan resmi tentang islam tradisional sedikit sekali mengalami perubahan yang mendalam, proses perubahan itu telah melahirkan suatu kekuatan “ekspansi” yang tersalur dalam berbagai bentuk aktifitas.
Cliffrod Greetz menggolongkan masyarakat islam jawa menjadi tiga kelompok; santri, priyai, dan abangan. Sekarang tesis greetz ini banyak digugat orang. namun masih menunjukkan kompetensinya sebagai rujukan berbagai macam analisa tentang masyarakat pesantren.tidak berkelebihan kalau dikatakan bahwa “tradisi pesantren”yang diungkap oleh dhofir sedikit banyak juga hasil telaah mendalam terhadap tesis greetz. Secara khusus model masyarakat islam greetz ini terganmbar dalam komunitas santri “modern”. Santri yang tergolong dan dikonotasikan dengan “orang sarungan”dan priyayi dari masyarakat keraton, bisa terlihat tergabung dalam budaya masyarakat santri modern. Seorang santri bisa saja menonjolkan watak keislaman yang kental, tapi sikap hidup dan tata cara pergaulannya sedikit banyak  masih menunjukkan ciri khas masyrakat keraton. Banyak pula santri yang pakai dasi, jas dan celana. Semua ini tidak lepas dari faktor sejarah.
·         Akulturasi Budaya
Tuntutan lerevansi pendidikan pesantren dengan realitas zaman memaksa tokoh-tokoh pesantren, utamanya dari kalangan mudarnis, melakukan study banding terhadap sistem budaya pesantren engan budaya kontemporer (baca; budaya luar). Tetapi fisi yang mereka gunakan kadang kurang sesuai dengan tradisi pesantren. Secara keilmuan pesantren dikaji dari sudut pandang kultur-empiris-realistik, sementara budaya pesantren bersifat kultur-historis-konfensional. Bila perbedaan fisi seperti ini di gunakan untuk menganalisa kecendrungan-kecendrungan di pesantren akan menghasilkan antitesis, bukan sintesis.
Budaya pesantren merupakan salah satu bagian setting sosial islam, yang mengakui perbedaan “takdir” manusia dalam pendekatan intelektual terhadap permasalahan yang terungkap didunia empirik. Tradisi pesantren merupakan salah satu bentuk budaya akulturasi budaya indonesia dengan ajaran islam. Kesetimbangan itu, tradisi pesantren tidak kita temui di negara islam yang lain kecuali hanya indonesia.
Praktek keislaman yang di bumbui budaya lokal semacam itu, pernah diungkap oleh Simon Van Den Berg dalam kata pengantarnya untuk terjemahan bahasa inggris terhadap buku tahafud al-Tahafud milik Ibnu Rush. Van Den Berg menulis demikian”mungkin bisa dikatakan bahwa santa maria yang di bangun atas minerva (dewi kebijaksanaan romawi sama dengan dewi athena yunani) adalah lambang budaya Eropa. Tapi tidak boleh dilupakan bahwa masjid pun dibangun diatas kuil Yunani”. Dr. Nur Kholis Madjid mengkritik postulat Van Den Berg terlalu berlebihan. Lebih lanjut cak Nur menjelaskan, masjid juga diberikan diatas kuil Yunani terasa sangat berlebiahan. Akan tetapi cak Nur Masih mengakui adanya unsur kebenaran dalam postutat Van Den Berg tersebut. Walaupun hanya pada batasan historik.
Dalam batasan tersebut, tradisi pesantren juga termasuk lambang Budaya Islam lokal seperti yang dimaksud oleh Van den Berg. Cuma konteks geografisnya berbeda. Karena dia orang Eropa, tentu saja Van den Berg memilih Yunani dan Romawi sebagai lambang akulturasi Budaya.sesuai dengan latar belakang geografis tempat Van den Berg tinggal. Sementara tradisi pesantren yang berkembang diatas unsur agama Islam dan Budaya Jawa, memiliki latar biografis Indonesia sesuai dengan tempat dimana pesantren itu ada. Walau konteks geografisnya berbeda, tradisi dipesantren memiliki determinasi akulturasi budaya yang sama dengan lambang budaya Eropanya Van den Berg, yakni sama-sama dipengaruhi dan mempengaruhi cara-cara menerapkan ajaran Islam.
Akulturasi Budaya itu bisa terjadi akibat impulse Universalis Islam. Disamping menimbulkan dampak negatif, impulse universalisme juga banyak membawa pengaruh yang positif. Dalam sejarah perkembangan intelektual dan budaya lokal terhadap ajaran Islam sudah merupakan hal baru lagi. Itu terjadi karena cendikiawan muslim makin intens melakukan studi dan seleksi terhadap hal-hal yang bisa berdampak positif dan yang negatif, untuk kemudian melakukan pilihan mana yang pantas diambil dan mana pula yang harus dibuang.
Cliffort Geertz memandang akulturasi Budaya jawa dengan ajaran Islam sebagai fenomena yang positif guna menyambung dua peradaban. Dalam hal ini Geertz memilih sunan Kalijaga, Geertz menulis demikian “.....sebagai sesuatu pelambang dan ide berwujud nyata Sunan Kalijaga mempertemukan jawa yang Hindu dan jawa yang Islam, dan disitulah terletak daya tariknya. Sama juga untuk kita dan juga untuk orang lain. Apapun sebenarnya yang terjadi, ia dipandang sebagai jabatan antara dua peradaban tinggi dua epos sejarah, dan dua agama besar yaitu; hindualisme, Budhaisme Majapahit yang disitu ia dibesarkan dan Mataram Islam.”
Nampaknya adanya pengaruh tertentu lingkungan budaya lokal dalam ekspresi keagamaan seseorang merupakan sebuah keniscayaan, seperti diakui oleh Ibnu Chaldun dalam bukunya yang termasyhur, “Muqaddimah”, ia memaparkan tentang konstalasi bagaimana budaya lokal mempengaruhi aplikasi ajaran agama Ibnu Chaldun memulai bahasanya dengan bertitik tolak dari pembagian bola bumi menjadi tujuh daerah Kimatologis dengan pengaruhnya masing-masing dalam watak para penghuninya Ibnu Chaldun memaparkan teori tentang pengaruh keadaan udara suatu daerah terhadap akhlaq serta tingkah laku orang-orang setempat.
Mencermati ketentuan tersebut, kita bisa menilai bahwa kedatangan Islam selalu mengakibatkan atau pengalihan bentuk (transformasi) sosial-budaya menuju kearamh yang lebih baik. Tapi pada saat yang sama kedatangannya tidak mesti destruktif atau bersifat memotong suatu masyarakat dari masa lampaunya semata, melainkan juga dapat ikut melestarikan apa saja, yang baik dan benar dari masa lampau itu, dan bisa dipertahankan dalam ajaran Universal Islam.
2.   Kepemimpinan Paternalistik
Telaah Terhadap Kesatuan “Mutlak” Santri Pada Kiyai.
Belakangan ini timbul gugatan dari kalangan ilmiah terhadap model ketundukan santri pada kiyai. Dipertanyakan, apakah ketundukan tersebut masih relevan dipraktekkan, sementara egolitarianisme dan kesamaan derajat dalam berpendapat dan bertindak tengah betol-getolnya disuarakan oleh masyarakat Islam modern? Ada yang berargumentasi bahwa, secara logis dan ilmiah kepatuhan “Mutlak” santri pada kiyai adalah kejanggalan struktural, tidak patut ada dalam masyarakat kontemporer. Lebih lanjut ditegaskan sikap patuh demikian menyebabkan seorang santri sama sekali tidak berhak mendiskusikan apa yang disampaikan oleh kiyai. Akibat logisnya tentu saja adalah stagnasi proses belajar itu sendiri, hal mana jelas berlawanan dengan konsep pendidikan modern.
Sebenarnya penulis mengakuikalau kepatuhan santri kiyai seperti diatas juga mengandung sisi negatif. Tetapi sisi  tersebut disebabkan oleh faktor psykologis. Dikarenakan esensi komunikasi antara kiyai dengan santri sebagai orang dewasa yang dipercaya memiliki segala kelebihan, kiyai menempati posisi puncak diminta santri, hal mana menjadikan santri merasa dirinya “Kenl” sehingga ia menganggap sama ilmu yang ada padanya tidak berarti dihadapan kiyai. Pengaruh kejiwaan terrefleksi dalam bentuk tingkah laku, aktivitas, perubahan dan kerja yang dilakukan oleh santri. Padahal bagi kiyai sendiri keberadaanya tidak seperti yang digambarkan oleh santri. Sebagai pembimbing, kiyai menganggap dirinya adalah orang tua, “parter”, dan guru yang siap membina serta menerima keluhan dan kesulitan yang dialami oleh santri, untuk kemudian dicarikan solusi agar santri terbebas dari segala permasalahan, termasuk juga tentang masalah yang ada di dalam kitab kuning, jadi tidak benar kalau dikatakan bahwa kepatuhan santri pada kiyai itu sama sekali menutup pintu dialog dan diskusi. Timbul suasana stagnasi keilmuan hanya disebabkan oleh faktor-faktor personal, datang dari santri sendiri yang secara psykologis merasa “takut” berbicara de kiyai. Buat kiyai sendiri, beliau sebenarnya bersedia membuka pintu rumahnya 24 jam penuh untuk mendengar keluhan santri.
Seluk Beluk Kepemimpinan
  • Dalam mengkaji masalah kepemimpinan kiyai, kita harus menggunakan pendekatan sosiologis-normatif. De pendekatan tersebut, aspek-aspek yang melekat pada konstelasi kepemimpinan kiyai terhadap santrinya bisa dikaji secara menyeluruh. Kiyai adalah manusia biasa. Walaupun beliau diberi kelebihan oleh Allah SWT sebagai pemimpin, namun sifat-sifat manusia yang salah dan benar sekaligus juga tetap melekat pada dirinya, karena itu kelak ia akan diminta pertanggung jawabannya oleh Allah berkenaan dengan aplikasi kepemimpinannya. Dalam hal demikian, Allah telah memberikan etika agama agar dijadikan sumber nilai oleh kiyai. Kalau kiyai benar-benar menjalankan mekanisme kepemimpinannya sesuai etika agama, sudah pasti dapat membawa implikasi yang positif bagi pesantren khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Secara sosial politik-kiyai wajib memerankan dirinya sebagai pelindung umat, bukan malah menciptakan kesulitan semua ketentuan tersebut merupakan kewajiban merupakan moral dan dibakukan oleh ajaran normatif, serta telah dipahami oleh masyarakat sebagai ketentuan yang harus dilaksanakan oleh kiyai.
  • Syarat-syarat Pribadi pemimpin
H. Abu Bakar Atjeh menjebut beberapa faktor penyebab menjadi kiyai yaitu: pengetahuannya, kesalahannya, keturunannya dan jumlah murid (yang terakhir khusus untuk kiyai besar). Van den Berg memberikan ketentuan yang hampir sama dengan Abu Bakar Aljeh. Yakni: keturunan, pengetahuan agama, jumlah murid dan cara dia mengabdikan dirinya pada masyarakat.
3.   Penghormatan Semu
Tinjauan Tentang Arogasi Dan Eksklusifisme
Menurut Soerjono Soekarno, istilah community dapat diterjemahkan sebagai “Masyarakat setempat”, istilah mana menunjuk pada warga sebuah desa, kota, suku atau bangsa. Murtadlo Mutlahari menulis, “suatu masyarakat terdiri atas kelompok-kelompok manusia yang sangat terkait oleh sistem-sistem, adat istiadat, ritus-ritus serta hukum khas”.
Seperti maksud tulisan Soerjono dan Murtadlo, masyarakat pesantren juga termasuk salah satu terjemahan community yang memiliki kelompok-kelompok kecil maupun besar, dan masing-masing senantiasa terlibat dalam interaksi sosial, ekonomi, bahkan secara politis pula. Akibat modernisasi, model kehidupan dan segalay muncul dipesantren saat ini tervisualisasi, seperti masyarakat pada umumnya.pesantren bukan lagi sebuah komunitas eksklusif yang hanya diperkuat oleh gambaran sebagai lembaga sosial yang bersifat rural, pastoral, idelik dan penuh dengan mitos-mitos-arkadian. Dalam konsep pengembangannya pesantren juga menggunakan pendekatan human ecology dengan prinsip people centered yang oleh David C. korten dan Rudy Klauss dalam bukunya “people centered Development” di beri pengertian sebagai pendekatan yang mementingkan inisiatif kreatif dari masyarakat sebagai sumber utama pembangunan serta menekankankesejahteraan materiil dan spirituiil masyarakat sebagai tujuan dari proses pembangunan. Kecuali secara kultural, saat ini pesantren benar-benar telah melembaga dengan permanen dan pengertiannya memang melampaui batas-batas awal, dan berhasil meniadakan dikotomi masyarakat islam Indonesia. Demikian pula secara sosial-politik apa yang menggenjala dalam konstelasi struktural masyarakat umumnya, juga terjadi pada lingkungan pesantren.
Tidak hanya di pesantren, fenomenal struktural seperti itu banyak kita jumpai terjadi pula pada konstelasi politik dan biokrasi kita dalam hal penghormatan, mereka yang tergolong binokrat rendahan biasanya suka sekali, bahkan sangat bangga bila ada orang yang membungkuk-bungkuk ketika berjalan di depannya lebih jauh mereka malah memaksakan terjadi pada orang yang dianggap pemimpin seperti mereka itu? Bukankah seorang pemimpin itu bertugas melayani dan membina orang, dan kesetimbangan itu justru merekalah seharusnya yang lebih menghargai orang? dalam tinjauan kepemimpinan pertanyaan-pertanyaan ini menarik untuk dijadikan bahklan diskusi, dan perlu dibahas lebih jauh, sebab sebagai fenomena sosial-politis sikap-sikap buruk diatas bisa menyanngkiti setiap orang dimanapun ia berada. Selain itu, kesetimbangan sikap tersebut merupakan gejala manusiawi yang dimiliki oleh seorang pemimpin termasuk oleh ustadz dan birokrat rendahan itu.
Secara paradikmatif-normatif sikap yang ditunjukkan oleh mereka bukan aplikasi konsep sosial politik islam pada sikap mereka tidak ditekankan hubungan kasih sayang, setia kawan, saling bantu, ketentraman dan kedamaian. Padahal hubungan-hubungan tersebut mutlak ditunjukkan dalam interaksi atasan dengan bawahan, agar terwujud kedamaian danketentraman. Memang betul, interaksi atasan dengan bawahan bersifat struktural-politis. Akan tetapi ketika masyarakat islam Indonesia sedang beralih dari jaman agraris ke industri yang diikuti oleh meningkatnya pendidikan, sehingga melahirkan pemahaman baru yang lebih kondusif dan relevan tentang hubungan sosial-politik islam. Timbul gagasan-gagasan baru untuk memperluas konotasi struktural secara antropologis edan sosiologis, agar ajaran islam dapat diterjemahkan kedalam konteks yang lebih aktual menurut bahasa dan konsep yang baru. Hal ini merupakan perkembangan yang lebih genial terhadap perspektif keilmuan islam. Dulu, sebelum perkembangan tersebutmenggejala, persepsi kita tentang struktur kita masih terfokus pada arti politik dan kekuasaan. Dalam arti sempit, struktur berarti “bila punya kedudukan seseorang mesti berkuasa mengatur dan boleh memperlakukan orang lain seenaknya”. Akan tetapi saat ini generasi islam telah memahami kalau struktur itu memiliki cakupan ekonomi, sosial, budaya, juga norma, moral dan nilai. Artinya, persoalan kekuasaan juga tidak lepas dari cakupan-cakupan tersebut.
4.   Moral Kebersamaan, Keterburukan Dan Keiskhlasan Santri
Kebudayaan ghasab hampir membudaya disetiap pesantren, utamanya di pesantren besar. Anehnya budaya ini seakan dilegitimasi oleh sikap santri juga tidak “muring-muring” sambil berkacak pinggang “Misuhi” anak yang menggasab barangnya. Bila ia butuh terhadap barang yang telah di ghasab, lalu mengapa budaya ghasab di pondok pesantren tidak sampai menimbulkan perpecahan krusial secara santri? Padahal kalau terjadi “di luar sana” sudah pasti berbuntut pada ketegangan.
Ada perbedaan mental yang sangat menyolok antara komunitas santri dilingkungan pondok pesantren dengan masyarakat diluar sana. Perbedaan ini disebabkan oleh kebiasaan sehari-hari. Kepemilikan barang masyarakat luar mutlak atas nama pribadi, individual, tidak ada barang pribadi yang boleh di atas namakan milik bersama, kecuali barang yang di dapat secara kolektif. Persepsi seperti ini menimbulkan mental sense of belonging yang tinggi terhadap milik pribadi dan kurang toleran bila barangnya di pakai orang lain. Puncaknya, tidak sikap arogan dan pengagungan yang berlebihan terhadap harta benda.
  • Santri dan Anak Kost
Pondok pesantren juga tidak dapat disamakan dengan tempat kost, yang terlalu lemah memberikan aturan. Asal tidak merugikan ibu kost (tuan rumah), anak kost bebas melakukan semaunya. Ibu kost juga tidak terlalu peduli seratus persen bila melihat penyimpangan anak kostmya. Bila anak kost ditegur, bisa mengeluh dan pindah ke tempat lain. Untuk urusan Mu’asyaroh (hubungan kemasyarakatan) anak kost kurang memiliki sosialisasi yang tinggi dengan lingkungannya. Mereka beranggapan, terlalu dekat dengan masyarakat bisa mengurangi kebebasan. Kekerabatan yang erat berarti   pudarnya batas-batas individual, dan lebarnya satu pribadi dengan pribadi lainnya. Kesetimbangan dalam situasi seperti ini bisa terjadi saling koreksi terhadap segala tindakan dan perbuatan, maka oleh anak kost, kekerabatan dianggap dapat mencampuri urusan pribadi, sehingga melebur secara komunal dengan masyarakat bisa berakibat tidak bebasnya mereka ketika, misalnya “pacaran”.
  • Sebab normatif
Memang betul di pesantren juga  terjadi differensi budaya kesetimbangan beragamnya latar kehidupan santri. Namun differensi tersebut tidak sampai menimbulkan masalah-masalah yang takut, sebab setiap gejolak sosial yang timbul dinetralisir atau diminimalisir oleh tradisi pesantren. Hal demikian masih ditambah lagi oleh kuatnya rasa persaudaraan sebagai sesama muslim. Sehingga antara satu santri dengan lainnya, walaupun berbeda latar belakang, sanggup melebur jadi satu membentuk lingkungan masyarakat tersendiri yang jauh berbeda dengan lingkungan sebelumnya. Secara sosial, dalam anggapan santri timbul rasa saling membutuhkan diantara mereka yang menggambarkan sebuah gejala kemasyarakatan yang pernah disebut Nabi Muhammad SAW, dengan “makanan seseorang cukup untuk dua orang dan makanan dua orang cukup untuk empat orang dan makanan empat orang cukup untuk delapan orang” (HR. Bukhari dan Djabir RA).
Ilustrasi sabda nabi tersebut memang mengacu pada makanan. Namun makna pesan yang disampaikan sarat dengan dimensi saling “memberi dan membantu dalam kebutuhan” pada sebuah kehidupan masyarakat.
Apa yang terjadi dalam masyarakat pesantren yang sebenarnya merupakan gambaran nyata kehidupan bermasyarakat dalam islam, sebetulnya sudah sejak lama diakui justru oleh kalangan modernis.adakah seorang ahli sejarah Yahudi, Max I. Dimont yang dikutip pendapatnya oleh Abdul Hamid dalam bukunya Al-Mu’in AL-Mubin hal 48, mengilustrasikan hidup betapa terbukanya masyarakat  islam, sehinggabangsa Yahudi (yang digambarkan oleh Dimont) ikut pula menikmati keuntungan prinsip-prinsip kemasyarakatan I yang kini dianut secara penuh oleh pesantren. Maka sungguh sangat ironis sekali kalau ada orang Islam sendiri yang kurang simpatik terhadap yang diajarkan oleh islam sudah diakui “keampuhannya: oleh Dimont.
5.   Refleksi Perkembangan Pesantren Pasca Modern
Perkembangan masyarakat santri pasca modern banyak mendapat perhatian kaum intelektual. Sorotan terutama ditujukan kepada orientasi kependidikan santri masyarakat depan. Santri ini ada pesantren yang mengambil kebijaksanaan menyelenggarakan pendidikan formal, disamping tetap mengajarkan  kitab kuning. Apakah dengan sistem pendidikan seperti itu santri mampu beradaptasi dengan realitas  kontemporer tanpa harus melupakan tradisi pesantren? Polemik semakin melebar ketika tokoh pendidikan ikut urun rembuk, menyumbang pendapat tentang perlunya didikan pesantren “plus”, yakni sebuah lembaga pendidikan islam yang dipersiapkan untuk menyiapkan santri terampil (dalam artian siap bekerja) sekaligus memiliki integritas ilmu dan moral yang bisa di pertanggung jawabkan. Konsep tersebut banyak diterapkan oleh pesantren-pesantren tersebut.
Penyelenggaraan pesantren “plus” merupakan langkah rasional dan antisipatif. Mengingat belakangan ini banyak orang tua diharapkan pada kenyataan dalam dunia pendidikan yang tidak menguntungkan buat anak-anak mereka. Di satu sisi, orang tua mengemban amanat agama agar  mereka mampu mendidik anak menjadi manusia yang patuh pada ajaran-ajaran agama. Disisi lain., tuntutan dunia kerja menginginkan sistem pendidikan yang berorientasi pragmatis, lepas dari campur tangan agama dan hanya terfokus sepenuhnya pada keterampilan (psikomotorik) masalahnya sekarang, mana yang harus didahulukan.
Dengan pesantre “plus” problematika di atas bisa diatasai. Namun kalangan pesantren  tidak boleh gegabah dan terburu-buru mengentroduksir jenis pendidikan gabungan antara umum dan agama, antara yang pramatis dan normatif. Sebab kalau keliru langkah dapat merombak tradisi pesantren, sehingga “pembela” islam tradisional yang menjalankan pendidikanya pada tradisi yang telah lama mapan dan mengakar kuat di masyarakat, kata Zamakhsyari Dhofir pesantren tidak bisa begitu saja membiarkan dirinya mengikuti arus perubahan walaupun di dalamnya di introduksir sistem non tradisi seperti  pendidikan umum betul dilakukan pesantren harus tetap concern pada tujuan semula, yaitu lembaga tafaqquh fiddin. Paling tidak pesantren harus mampu mempertegas visi pendidikannya tanpa melakukan kenyataan yang ada kalau tidak demikian pesantren akan terombang-ambing diantara prioritas pragmatis dan normatif. Bila prioritas pragmatisy menang maka pesantren hanya di jadikan tempat transit oleh santrinya. Masuk pesantren untuk keperluan sekolah, lepas sekolah pulang, atau pindah pesantren lain meneruskan sekolah. disini nilai pesantren tak ubah seperti tempat kost. Dibutuhkan jika perlu, dan dilepas setelah keperluan itu usai.
  • Tujuan pesantren.
Pesantren merupakan lembaga pembinaan mental dan “pengekangan” hawa nafsu. Di pesantren ada aturan-aturan yang pantang dilanggar, mengingat semangat santri dulu dengan santri sekarang berbeda, realisasi ketiga diatas harus diimplementasikan lewat peraturan-peraturan pesantren artinya, santri dapat mencapai tujuan yang satu bila tujuan-tujuan lainnya juga bisa dicapai. Walaupun dalam waktu  yang berbeda dengan kata lain satu tujuan merupakan syarat buat tujuan yang lain.
Metode demikian baru dapat dilihat hasilnya biladitetapkan pada pesantren yang mengelola pendidikan umum. Misalnya untuk santri yang sekolah di SMA. Setiap santri tersebut tetap diwajibkan mengikuti pengajian kitab kuning waktu pelajaran sekolah juga dilaksanakan untuk dapat mengikuti pelajaran SMA, santri lebih dahulu diharuskan mengikuti ujian baca kitab kuning sebagai syarat pendahuluan. Bilaujian baca kitabnya lulus, baru diperbolehkan mengikuti ujian SMA, sebaliknya kalau tidak lulus baca kitab kuning, ujian SMAnya harus di tunda pada kesempatan mendatang. Cara ini masih di tambah oleh pembuktian tujuan yang lain, yaitu kemandirian dan kreatifitas, pada tahap ini, santri diwajibkan menciptakan sebuah karya yang berhubungan dengan jurusannya, dan karya tersebut bisa juga di buat sebagai syarat  pengambilan ijazah raport.
Contoh diatas hanya sebuah ilustrasi kecil bagaimana caranya menerapkan ketiga tujuan diatas tadi dan masih bisa di kembangkan lagi kearah yang lebih luas, misalnya sampai ketingkat perguruan tinggi jadi masalah yang penting substansi tujuannya tidak keluar dari ketiga tujuan di atas. Dengan demikian, harapan terhadap pesantren “plus” seperti yang selama ini di idealkan oleh masyarakat bisa dibuktikan hasilnya.

No comments:

Post a Comment