Wednesday, November 24, 2010

Budaya Dialog Dalam Islam: Asas dan Otentisitas



Prof. Dr. Muhammad al-Kattani
(Anggota Akademi Kerajaan Maroko)

Data Buku

Judul Asli: Tsaqfat al-Hiwar fi al-Islam: min at Ta’sis ila at Ta’shil 
Penulis: Prof. Dr. Muhammad al-Kattani (Mantan Dekan Fakultas Adab Universitas Abdelmalek Essaadi Tetouan Maroko, Anggota Akademi Kerajaan Maroko –lembaga yang menghimpun para intelektual terkemuka, baik dari dalam atau luar Maroko).
Judul Terjemahan: Budaya Dialog dalam Islam: Asas dan Otentisitas
Penerbit: Wizarah al-Awqaf wa as-Syu’un al-Islamiyah, al-Mamlakah al-Magribyah  (Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Maroko).
Jumlah Halaman: 291
Cover: Biasa (tidak tebal)
Cetakan: Pertama
Tahun Terbit: 1428 H/2007 M


Daftar Isi
Pendahuluan, 5
Pasal 1
Konsep Dialog dan Sinonimnya di Kamus Arab, 11 
Pasal 2
Kebebasan dan Perbedaan, Dua Syarat Dialog, 29 
Pasal 3
Al-Qur’an Sebagai Peletak Model Dialog, 61
Pasal 4
Model dan Tema Dialog dalam Al-Qur’an, 85 
-   Dialog Kegaiban, 87
-   Dialog Teologis, 126
-   Dialog Dakwah, 162
Pasal 5
Dari Praktik ke Peletakan Metode Dialog
Pasal 6
Nilai dan Etika Dialog, 205
Pasal 7
Pengalaman Dialog dalam Kebudayaan Islam, 219
Pasal 8
Pengefektifan Peradaban untuk Budaya Dialog, 267


Sinopsis
Di sebuah dunia yang terancam terorisme, ekstremitas, perang dan konflik antar agama, kemanusian tidak memiliki jalan keluar kecuali dengan kembali menjadikan dialog antar agama dan peradaban sebagai pengadil. Sebuah dialog atas dasar saling menghormati dan mengakui hak setiap pihak untuk mendapatkan keadilan. Sehingga, koeksistensi di bawah payung nilai-nilai keadilan, kebebasan, persamaan menjadi satu-satunya jalan untuk meraih keamanan dan perdamaian dunia.

Jika sebagian orang mencurigai Islam sebagai agama ekstremitas dan pengekangan pihak lain, buku ini mencoba untuk memberi gambar yang benar tentang agama ini; gambar yang diambil dari teks-teks al-Qur’an, pengalaman sejarah umat Islam dalam mengkreasi peradaban yang berdimensi global. Peradaban yang dibimbing oleh spirit dialog dan koeksistensi antar agama, tradisi dan kebudayaan yang berbeda-beda. Sebuah gambar yang mengantarkan kita pada satu kesimpulan bahwa Islam pernah menjadi pelopor dalam membangun budaya dialog di dunia ini.

Buku ini juga mengajak menghidupkan kembali budaya dialog internal umat Islam dan menjadikannya sebagai lem perekat kekuatan sosial; kekuatan yang berbasis toleransi dan hak untuk berbeda yang secara otentik lahir dari cara berpikir Islam, bukan semata karena tuntutan pihak luar.

Buku ini cocok dibaca, baik oleh kangan akademisi di kampus-kampus Islam atau masyarkat umum.


Tentang Penerjemah
Nama          : Dedy Wahyudin.
No Paspor     : A 027700  
Pekerjaan     : Mahasiswa S3 Sejarah Agama dan Peradaban Timur Universitas Abdelmalek Eassadi Tetouan Maroko.
Alamat Surat  : L’Ambassade d’Indonesia, 63, Rue Beni Boufrah Route Des Zaers KM 5,9 Souissi Rabat Maroc.
Telp          : +21242944842.
Email         : dewasa2008@gmail.com  
Karya Tulis   : artikel, makalah, kolom dan resensi buku, dipublikasi sendiri di blog: www.dedywsanusi.blogspot.com


Lima Halaman Pertama Buku
Mukaddimah
Sejak beberapa dekade terakhir dari abad lalu, konsep “dialog” termasuk konsep yang paling banyak beredar karena pencerahan yang diberikannya di era yang diselimuti kabut krisis dan konflik politik, sosial, agama dan etnik; karena substansinya yang jauh melampaui makna kebahasaannya yang terbatas. Dalam penggunaan sekarang ini, dialog bermakna perilaku peradaban yang berdasarkan sistem nilai universal seperti menerima pluralitas dan perbedaan, mengakui koeksistensi antar berbagai bangsa, bekerja sama untuk melawan tantangan kemiskinan, wabah penyakit, kerusakan lingkungan dan menyusutnya sumber daya alam sebagai satu keniscayaan sejarah kotemporer kita.
Keharusan mengadopsinya sebagai cara untuk menghadapi krisis dalam berbagai bentuknya ditambah oleh perkembangan media dan komunikasi; mengalir derasnya informasi dan bercampurnya berbagai peradaban dan kebudayaan. Dunia kemudian menjadi “satu kampung” dengan benturan-benturan keras dan krisis-krisis laten yang bergerak cepat. Berbagai bangsa berbagi kegelisahan dan ketakutan terhadap berbagai bentuk teror, kejahatan terorganisir, konflik etnis, kemiskinin, kelaparan dan mewabahnya penyakit-penyakit yang mematikan.
Konsep dialog menjadi lebih penting di akhir abad lalu setelah kemunculan pemikiran “benturan peradaban” yang memicu perdebatan luas di dunia politik dan pemikiran; di berbagai diskusi dan seminar, karena ia mengaduk-aduk perasaan mereka yang berharap akan masa depan kemanusiaan di bawah naungan perdamaian dan koeksistensi antara agama dan kebudayaan yang berbeda-beda. Jelas bahwa pemikiran “dialog peradaban” adalah ungkapan kontra terhadap pemikiran benturan peradaban. Sidang Umum PBB bahkan menjadikan tahun 2001 sebagai tahun dialog peradaban untuk menghimpun kekuatan yang percaya terhadap koeksistensi kemanusiaan untuk menghadapi hilangnya rasa aman, persebaran senjata nuklir dan mewabahnya gerakan ekstremis yang menjadikan kekerasan, pembunuhan dan destruksi sebagai cara-cara legalnya.
Tidak ada solusi untuk menghadapi penyakit ini selain dengan memenangkan logika kebenaran dan keadilan atas logika kekuatan dan teror baik dalam hubungan antar bangsa dan Negara atau hubungan antar lapisan sosial pada masyarakat  yang plural, multi etnik dan beragam agama.
Dalam situasi dunia  yang krusial ini, dunia Islam mendapati dirinya berada di jantung krisis peradaban. Eksistensi keagamaan dan identitas kebudayaan bangsa-bangsa muslim terancam; diatur oleh berbagai macam tekanan internasional dan tarik menarik antar kutub kekuasaan. Islam yang menjadi pilar identitasm modal peradaban dan sumber kebanggaannya dalam gambaran orang-orang Barat dicurigai sebagai agama ektremitas dan peniadakan pihak lain; dan sebagai sumber utama gerakan teror di tingkat dunia.
Ada beragam reaksi umat Islam terhadap berbagai bentuk serangan terhadap tanah air, tekanan ekonomi terhadap rakyat dan manipulasi terhadap agama mereka. Misalnya, munculnya gerakan-gerakan fundamentalis, aksi kekerasan terhadap rezim dalam negeri yang tunduk atau lembek di hadapan hegemoni Barat, lebih-lebih ketika hegemoni tersebut diperankan oleh satu kutub kekuatan dunia. Reaksinya pun kemudian jelas pada sikap fundamentalis yang berujung pada lahirnya “basis (Qa’idah)” untuk mengganggu keamanan dunia dengan menyebar sel-sel teror, menghancurkan infrastruktur, membunuh orang-orang tak berdosa baik di masyarakat Barat atau masyarakat Islam; dan semua itu dengan nama “Islam”.  Implikasi dari aksi-aksi terorisme di berbagai penjuru dunia memaksa pemerintah di negeri-negeri muslim menggunakan logika keamanan, apalagi di Negara-negara Barat yang mengalami aksi teror dan menjadi mimpi buruk dalam kehidupan mereka.
Betapapun canggihnya sarana untuk menjaga keamanan, menghabisi jaringan teror dan mengeringkan sumber-sumbernya, namun ia tidak lebih dari sekedar “penghadapan situasional” dengan efektifitas terbatas selama ia tidak mengandalkan “budaya dialog” dan mengefektifkan nilai-nilai keagamaan di hati nurani umat Islam; (selama ia) tidak berangkat dari menebar citra yang benar tentang Islam dan bergaul dengan nilai-nilainya sebagai kunci pembuka hati para pemeluknya. Karena termasuk kenyataan sejarah bahwa dunia Islam tidak mungkin mengalami kebangkitan, pembangunan dan perbaikan apapun dari luar Islam itu sendiri yang tetap menjadi sumber spiritualitas mendasar bagi masyarakat Islam. Oleh karena itu setiap gerakan pembaharuan sepanjang satu abad yang lalu selalu mengarah pada mengandalkan jati diri keislaman, namun ia berhadapan dengan realitas yang dipenuhi ketertinggalan sosial, kebutahurufan yang menjadi tabir penghalang antara umat Islam dengan pemahaman terhadap hakikat agama mereka sebagaimana pada teks-teks rujukan tanpa perantara yang ektremis, bodoh atau kaku (rigid).
Kemiskinan, buta huruf dan ketidakadilan sosial yang melanda masyarakat Islam adalah sumber ekstremitas dan fundamentalitas, ditambah pula dengan serangan-serangan terhadap Islam di media-media Barat. Oleh karena itu, saya kira bahwa umat Islam saat ini menghadapi tantangan yang sangat serius berupa pemutarbalikan sejarahnya dan tuduhan bahwa ia adalah agama ekstrem dan kejam. Dari dalam masyarakat Islam sendiri, ia berhadapan dengan citra yang dirusak, nilai-nilai yang disempalkan oleh para penganjur ekstremitas yang menjadikan “kekerasan” dan teror buta sebagai bagian dari “jihad yang legal”.
Di buku ini, saya ingin menunjukkan citra Islam yang indah, yaitu bahwa ia berdiri di atas budaya dialog, wacana rasional, penguatan koeksistensi dan  toleransi antar berbagai agama dan kebudayaan. Saya berusaha untuk menampilkan keterbebasan Islam dari segala tuduhan musuh-musuhnya di luar dan orang-orang sesat di dalam; mereka yang bekerjasama untuk merobohkan pilar-pilar sikap tolerannnya.
Saya berusaha untuk menampakkan Islam sebagai rujukan Islam yang  benar, sebagai pelopor penanaman budaya dialog, kristalisasi peradaban Islam yang menerangi dunia yang berdiri atas dasar dialog peradaban dan koeksistensi antar agama-agama. Bahwa Allah SWT menegakkan petunjuk-Nya atas dasar ajakan menujuk tauhid dengan cara-cara terbaik. Bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Bahkan al-Qur’an menggambarkan kepada kita dialog yang terjadi di alam gaib sebelum adanya manusia, setelah kebangkitan manusia pada hari perhitungan dan melalui dakwah para nabi dengan menjadikan perbedaan antar bangsa dan suku sebagai jalan unutk saling mengenal bukan saling mengingkari, dan tidak ada jalan untuk saling mengenal selain dialog dan sikap terbuka satu masyarakat terhadap masyarakat yang lain.
Pembahasan di buku ini saya buat dalam dua poros, pertama tentang dialog dalam al-Qur’an. Kedua, tegaknya kebudayaan Islam atas dasar dialog pada masa-masa kejayaannya.
Dengan demikian, buku ini bisa menjadi kontribusi berharga dalam bidangnya untuk mendorong umat Islam mengembalikan “budaya dialog” yang merupakan salah satu pilar agama mereka dengan berangkat dari jati diri mereka, bukan karena tunduk terhadap ajakan pihak luar.

Rabat, awal Desember 2006
Muhammad al-Kattani

Pasal Pertama
Konsep Dialog dan Padanannya di Kamus Bahasa Arab
Dalam bahasan ini, kita akan menghadirkan konsep-konsep yang menunjukkan makna “dialog” atau yang berkaitan dengannya; yang sebagian malah sering digunakan oleh al-Qur’an sebagai ganti “al-hiwar/dialog” yang dipakainya hanya di tiga ayat, yaitu:    

No comments:

Post a Comment